Panas-Panas Pulau Nanaka

Informasi mengenai Pulau Nanaka dari Google nyaris nol. Tanyakanlah saja kepada siapapun yang anda temui di jalan, besar kemungkinan mereka tidak akan sanggup menunjukkan lokasi pulau mungil ini di peta.

Tiga puluh enam jam sudah terlepas dari hiruk pikuk Megapolitan Jakarta yang riuh rendah dengan dua puluh juta jiwa penghuninya, saya terdampar di Nanaka, sebuah pulau yang dihuni selusin keluarga. Pulau Nanaka tersudut di leher Teluk Tomori, di sebalik perbukitan yang dirimbuni hutan pekat. Sebarisan rumah kayu berjajar di atas pasir putihnya dengan latar belakang segunduk bukit berdinding pohon kelapa.

Perahu disandarkan begitu saja di pasir, kemudian ditambatkan di sebuah tiang kayu. Saya menyusul Pak Gatot dan Rusli yang sudah melompat keluar duluan. Air laut yang hangat setinggi dengkul menyambut kedatangan kami di pulau ini.

Panas. Itulah kesan pertama yang kami dapatkan di Pulau Nanaka. Pak Gatot mengajak kami mendaki tangga dermaga menuju ke sebuah rumah yang terletak di lepas pantai. Tepat di bawah rumah tersebut terdapat sejumlah tambak ikan yang dirawat oleh si pemilik rumah. Saya berjalan mengikuti Pak Gatot sembari berjalan berjingkat lantaran telapak kaki saya yang telanjang harus terbakar hebat tatkala bersentuhan dengan landasan dermaga.

Seorang anak kecil yang memperkenalkan dirinya bernama Gilang menyambut kami dengan seringai lebar. Gilang berlari memanggil kedua orang tuanya sembari berlari ke dalam rumah kayunya. Novi dan saya sempat terkekeh pelan melihat sofa-sofa yang ditaruh di atas dek kayu dermaga, terlihat tidak sinkron dengan pemandangan di sekitarnya.

Tidak lama kemudian Gilang kembali berlari keluar. Kali ini di pelukannya terdapat segulung benang layangan dan seekor ikan kering yang terselip di antara dua buah piring plastik.

“Kalau mau ambil ikan, kita pancing saja pakai ini,” katanya seraya mengangkat sebilah papan kayu dari lantai rumahnya. Lantai rumah itu pun terbuka dan di bawahnya terdapat ratusan ikan berseliweran.

Gilang mengajari saya mengikat ikan kering di benang layangan tadi, kemudian menceburkan umpannya ke lautan. Tidak berapa lama anak itu menarik cepat-cepat benang di genggamannya. Seekor ikan tersangkut kail. Dengan penuh semangat, kami bersorak ketika Gilang menarik benangnya ke atas. Panasnya Pulau Nanaka siang itu seakan terabaikan dalam keriuhan.

Ditangkapnya ikan yang naas itu, kemudian Gilang menggeleng pelan, dan melemparkan ikan tadi kembali ke lautan, “Terlalu kecil. Mari kita coba lagi.”

Ya. Mari kita coba lagi.