Deru Mengarungi Teluk Tomori

Belum semenit kami keluar dari leher Teluk Tomori, perairan yang semula tenang kini sudah dihiasi oleh gelombang tinggi. Perahu kayu yang berisi enam orang ini terombang-ambing di tengah lautan lepas, sementara Opa pengemudi perahu nampak bergeming dengan sigaret terselip di mulutnya.

“Di sana ada sebuah pulau pasir,” terang Rusli kepada kami, “Menurut ceritanya pulau pasir itu sering digunakan oleh seekor gurita raksasa untuk berjemur. Jadi kadang gurita yang berukuran sangat besar itu naik ke daratan dan bertengger di pulau pasir itu.”

Sudah banyak yang melihat keberadaan si gurita besar. Itulah mengapa kemudian muncul banyak mitos-mitos di kalangan masyarakat Mori sendiri, di antaranya gurita tersebut mempunyai seorang kembaran manusia di Morowali. Saya tidak menanyakan lebih detail tentang cerita tersebut. Rusli lebih banyak bicara soal potensi alam.

Perahu kayu disandarkan di hamparan pasir. Kami melompat turun. Saya mengikuti Pak Gatot yang sudah turun duluan. Air laut setinggi pergelangan kaki menyambut kedatangan kami di pulau mungil ini.

Selangkah dua langkah saya harus berjalan berjingkat lantaran telapak kaki saya menginjak batu-batu yang terserak di pulau ini. Sakit memang. Namun apa boleh buat karena tidak mungkin saya nyemplung ke laut dengan memakai sepatu.

Pulau kecil tanpa nama ini terletak di tengah-tengah Teluk Tomori, berada di antara lautan lepas dan lengkungan Pulau Sulawesi yang mengapitnya di kejauhan. Selepas dari pulau ini hanyalah hamparan air laut sehingga apabila kita berjalan di tengah-tengahnya maka terasa seperti berjalan di atas air.

Saya pernah mengunjungi beberapa gosong pasir di Belitung dan Kalimantan Timur, tetapi di Sulawesi Tengah agak berbeda lantaran teksturnya lebih banyak batu kerikil. Jadi mungkin ini lebih tepat disebut sebagai gosong batu!