Kemegahan Jembatan Siak

Empat atau lima kilometer saya berjalan menyusuri waterfront berpagar itu. Sepanjang berjalan di tengah hujan rintik-rintik, tidak seorang pun terlihat di jalanan. Kota Siak Sri Inderapura siang itu benar-benar sepi. Satu-satunya yang berpapasan dengan saya adalah sebuah kapal pengangkut kayu yang kebetulan melintas.

Agak janggal rasanya menyaksikan jalan-jalan raya yang mulus dan lebar-lebar tanpa kendaraan yang melintas, sungguh berbeda dari kabupaten-kabupaten di Jawa yang penuh sesak dengan kendaraan bermotor sementara jalan rayanya bolong-bolong seperti keranjang sayuran.

Totem bagi Siak Sri Indrapura adalah jembatan Siak. Entah anda berkapal atau bermobil menuju ke kota ini, anda akan melihat dua tiang jembatan megah ini sebelum memasuki kawasan Siak. Bentangan jembatan yang lebih dari satu kilometer dan kedua tiangnya yang menjulang seratus meter ke udara membuatnya begitu mencolok terlihat dari kejauhan.

Jembatan Siak mempunyai nama asli Jembatan Tengku Agung Sultanah Latifah. Jembatan masif yang namanya diambil dari permaisuri Sultan Syarif Kasim II itu dibangun sepenuhnya dengan anggaran pemerintah daerah Kabupaten Siak, sebuah hal yang menarik mengingat daerah-daerah lain rata-rata masih menyusu kepada pemerintah pusat untuk megaproyek sekelas ini.

Pada kedua tiang jembatan, tepat di lapang kedua pucuknya, terdapat dua buah restoran. Untuk mencapainya, kita dapat menggunakan elevator yang terletak pada dasar tiang-tiang jembatan. Dari atas jendela kaca restoran ini kita dapat melihat langsung pemandangan seantero Siak Sri Indrapura yang dibelah oleh Sungai Siak.

Saya melirik ke jam tangan yang jarumnya sudah menunjukkan pukul dua siang. Nampaknya saya harus segera bergegas untuk kembali ke pelabuhan karena perahu motor yang akan membawa saya kembali ke Pekanbaru akan berlepas sore ini.