Tongkonan adalah ikon bagi Toraja. Rumah-rumah beratap tinggi menjulang ini adalah aktor reguler di dalam promosi-promosi pariwisata Indonesia. Tidak salah apabila atap yang besar ala tongkonan ini menjadi salah satu aksesoris wajib di gedung-gedung pemerintahan dan fasilitas publik yang tersebar
Month: October 2016
Jajar Tongkonan Kete Kesu
Barangkali inilah desa adat paling tenar di Toraja. Kete Kesu bak sebuah gambar kartu pos yang muncul di dunia nyata, sebanyak dua lusin tongkonan berhadap-hadapan membentuk dua ruas barisan tepat di hadapan saya. Atap-atap tongkonan yang besar dan berat terselimuti
Romeo Juliet dari Londa
Wangi mawar semerbak berbaur dengan bau-bauan asap rokok dan pengapnya gua Londa. Dua tengkorak tergeletak di sebuah permukaan datar peti kayu yang basah, dikelilingi oleh beberapa jumput bunga merah yang masih baru. Saya menatap Pak Timotius tanpa mengucapkan sepatah kata
Tengkorak yang Merokok
Puntung-puntung sigaret berserakan di sekitar kerangka kepala yang telah menghitam itu, ibarat tempat pembuangan rokok yang berhiaskan tengkorak. Siapa sangka bahwa sang pemilik kerangka masih terus disodori rokok bahkan ketika usianya sudah terlewat. Namun setidaknya si tengkorak tidak perlu mengkhawatirkan
Sumalong-Malong ke Londa
Tana Toraja adalah culture shock tanpa paspor. Tebing-tebing batu dengan patung-patung kayu dari orang yang telah meninggal, tumpukan kerangka di dalam gua lembap, julang-julang menhir di padang rumput, rumah-rumah dengan atap raksasa, dan upacara kematian penuh euforia yang tiada duanya
Rumah Tongkonan ala Toraja
Tongkonan dicerabut dari kata tongkon, yang artinya dudukan. Tongkonan pada masa lampau merupakan tempat berkumpulnya para bangsawan Tana Toraja untuk berdiskusi, baik perkara pemerintahan hingga soal pengadilan adat. Dari dalam tongkonan-tongkonan inilah kebudayaan Toraja tumbuh dan bergerak maju. Selain menjadi
Tau-tau di Tebing Lemo
Baru kali pertama saya melihat kuburan bak etalase toko serba ada. Setidaknya seratus patung kayu berpakaian lengkap disusunkan berjajar di kolom-kolom tebing. Setiap balkon menampung hingga selusin patung, yang masing-masing menghadap ke arah perbukitan lepas, menghasilkan suasana surreal ketika saya
Kematian di Tana Toraja
“Mari kemari, kakak harus bertemu nenek,” ajak gadis kecil itu dengan senyum cerah yang saya jawab lewat sebuah anggukan ringan. Tentu saja. Mengapa tidak? Barangkali nenek punya cerita menarik untuk dibagikan kepada saya. Saya berjalan mengikutinya menyusuri petak-petak sawah dan
Telaga Permai di Sisi Toraja
Kerikil sebesar kepalan tangan tersebar merata di badan jalan. Laluan sempit yang membawa kami ke Telaga Tilanga memang tidak beraspal. Sepeda motor yang saya kemudikan berulang kali terperosok ke dalam lubang jalanan, hingga akhirnya saya menyuruh Rudy untuk turun dan
Disambut Bakso Babi Toraja
Kami hanya mendapat dua opsi, kerbau atau babi. Rudy dan saya akhirnya sepakat memilih babi sebagai makan pagi, mungkin karena kami merasa lebih familiar dengan rasanya. Perjalanan semalam suntuk dari Makassar dengan bus yang nyaman mengantarkan kami di sentra kota