Sampit punya ojek online. Namanya Pitjek, dibaca pit-jek, bukan picek. Singkatan dari Sampit Ojek. Sistem ordernya pun tidak melalui aplikasi melainkan sesederhana dengan menggunakan WhatsApp. Dari sana kita mengirimkan order kepada administrator dan beberapa waktu kemudian kita akan dihubungi oleh
Kalimantan Tengah
Meraba Jejak Tragedi Sampit
Setiap kali kata Sampit terucap, teman-teman saya merespon kurang lebih “Serem ya?”, seakan-akan tragedi delapan belas tahun silam di kota ini menjadi sebuah cap abadi yang menghantui kota dan seluruh penduduknya. Padahal ketika saya berada di Kota Sampit, jejak-jejak peristiwa
Sampit Punya Museum Kayu
“Aneh itu deket tempat saya kerja, tetapi saya malah belum tahu ada Museum Kayu di Sampit,” celetuk Sandra ketika berdiskusi dengan saya lewat telepon siang itu. Sandra adalah seorang sahabat dari komunitas Quora yang bekerja di sebuah klinik kecantikan di
Kehidupan di Tepian Mentaya
Batang Danum Kupang Bulan. Demikianlah orang-orang Dayak Ot Danum menyebut nama sungai ini, atau lebih akrabnya Sungai Mentaya. Apabila dibandingkan dengan sungai-sungai lain di Kalimantan, air Sungai Mentaya relatif terlihat lebih tenang. Permukaannya bergetar pelan seakan berusaha meneduhkan hiruk pikuk
Ingat Sampit, Ingat Jelawat
Hanya sesaat setelah roda-roda pesawat bergesekan dengan landasan yang basah, bau petrikor bercampur nuansa anyir seakan menyesaki kabin. Tidak berapa lama kemudian sepapas pesan singkat masuk ke telepon saya, “Ingat Sampit, Ingat Jelawat!” Ingat Sampit, ingat jelawat? Tidak. Ingat Sampit,
Arboretum Nyaru Menteng
“Sudahlah, saya antar kamu ke sana lima puluh ribu saja,” jawab si tukang ojek sambil menyerahkan helm kusamnya ke tangan saya. Saya tidak punya pilihan sebab mau naik apa lagi ke sana. Dan demikianlah kami meluncur kurang lebih tiga puluh
Melayari Teras Lasang Garu
Pak Gamaliel punya dua kapal, Teras Lasang Garu dan Getek Tahasak Danum. Dua kapal motor ini diparkir tidak jauh dari Tugu Soekarno di paparan Sungai Kahayan dalam kesehariannya melayani lalu lalang arus wisatawan yang berminat menjelajahi sungai ini. Kebetulan pagi
Jembatan Kahayan nan Ikonik
Biaju Besar mereka menyebutnya. Sebuah sungai besar yang angkuh membentengi papar utara Palangkaraya ini memisahkan antara denyut peradaban modern dengan hutan belantara, antara masyarakat kota dan penduduk desa. Namun semenjak Jembatan Kahayan berdiri pada awal dekade silam, tembok kokoh Biaju
Rumah Betang Palangkaraya
Palangkaraya siang itu sunyi dan membara. Langkah gontai mengiringi perjalanan saya menyisir sepanjang trotoar yang bongkah-bongkah tegelnya sudah mulai terlepas. Dengan bermodalkan peta sederhana, saya berusaha mencari rumah betang besar yang berdiri di jantung kota ini. Tidak susah lantaran rumah
Palangkaraya Mimpi Soekarno
“Jadikanlah Kota Palangka Raya sebagai modal dan model, Jangan membangun bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan, Dan lahan di sepanjang tepi sungai tersebut, hendaknya diperuntukkan bagi taman, sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah.” – Soekarno, 1957 Kota