“Sudahlah, saya antar kamu ke sana lima puluh ribu saja,” jawab si tukang ojek sambil menyerahkan helm kusamnya ke tangan saya. Saya tidak punya pilihan sebab mau naik apa lagi ke sana. Dan demikianlah kami meluncur kurang lebih tiga puluh
Kota Palangkaraya
Melayari Teras Lasang Garu
Pak Gamaliel punya dua kapal, Teras Lasang Garu dan Getek Tahasak Danum. Dua kapal motor ini diparkir tidak jauh dari Tugu Soekarno di paparan Sungai Kahayan dalam kesehariannya melayani lalu lalang arus wisatawan yang berminat menjelajahi sungai ini. Kebetulan pagi
Jembatan Kahayan nan Ikonik
Biaju Besar mereka menyebutnya. Sebuah sungai besar yang angkuh membentengi papar utara Palangkaraya ini memisahkan antara denyut peradaban modern dengan hutan belantara, antara masyarakat kota dan penduduk desa. Namun semenjak Jembatan Kahayan berdiri pada awal dekade silam, tembok kokoh Biaju
Rumah Betang Palangkaraya
Palangkaraya siang itu sunyi dan membara. Langkah gontai mengiringi perjalanan saya menyisir sepanjang trotoar yang bongkah-bongkah tegelnya sudah mulai terlepas. Dengan bermodalkan peta sederhana, saya berusaha mencari rumah betang besar yang berdiri di jantung kota ini. Tidak susah lantaran rumah
Palangkaraya Mimpi Soekarno
“Jadikanlah Kota Palangka Raya sebagai modal dan model, Jangan membangun bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan, Dan lahan di sepanjang tepi sungai tersebut, hendaknya diperuntukkan bagi taman, sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah.” – Soekarno, 1957 Kota