Matahari timur baru setinggi hidung ketika saya melibas kampung sepi Pulau Biak. Rerata penduduk sedang berjalan kaki ke gereja, meninggalkan perkampungan dalam kondisi abai tanpa tuan. Kalaupun ada yang terlihat di luar, itu pun dapat dihitung dengan jari tangan. Satu
Papua
Remah-Remah Perang Dunia II
“Ya, semua ini sa ambil dari dalam gua sana,” sahut si ibu dengan nada tidak antusias. Rupanya saya salah bertanya kepada orang kampung ihwal dari mana datangnya selongsong-selongsong artileri berkarat yang terserak berai di kampung mereka. Pemerintah Biak membangunkan sebuah
Drum Drum Pencabut Nyawa
Barangkali tidak ada psikopat yang lebih gila daripada Brigadir Jenderal Jens Anderson Doe yang memimpin penyerbuan ke gua-gua pertahanan Jepang di Biak. Sudah sekian lama persembunyian tentara Jepang di bawah tanah ini menyulitkan tentara Amerika Serikat yang berjumlah lebih besar
Menilik Gua Pertahanan Jepang
Air menetes-netes dari stalagtit yang bergelantungan di langit-langit gua. Saya mencoba melangkah perlahan-lahan di anak tangga batu yang meliuk-liuk turun dari permukaan tanah ke dasar gua, berhati-hati agar tidak terpeleset. Semakin ke bawah suasana semakin terasa muram, lembab, dan singup.
Biak di Teater Perang Pasifik
“Satu-satunya yang saya ketahui dari Biak adalah ini sebuah pulau satu derajat di sebelah selatan garis khatulistiwa, salah satu di kelompok Kepulauan Schouten di sisi utara Teluk Geelvink sebelah barat Nugini,” tulis Kolonel Harold Riegelman di dalam pengakuannya pada bulan
Di Tepi Timur, Di Sisi Bosnik
Menyusuri Pulau Biak ibarat menyusuri pasase labirin siluman. Jalan-jalan sempit beraspal bercabang-cabang tanpa penunjuk arah, di mana dan ke mana bergantung sepenuhnya kepada teknologi GPS. Tanpa peta digital, penyusuran Biak akan menjadi laiknya orang buta mencari jarum di tumpukan jerami.
Pertemuan dengan Suku Dani
Lima orang berpakaian compang-camping itu menatap tajam ke arah saya dari atap truk yang melaju kencang. Busur panah digenggam oleh masing-masing seakan-akan sedang mobilisasi untuk perang di kampung entah mana. Ibu penjaga kios dan saya hanya terpana melihat truk itu
Wamena di Waktu yang Salah
Iring-iringan sepeda motor menyesaki pusat kota kecil ini. Di belakangnya rombongan mobil polisi mengikuti dan beberapa tentara bersenjata laras panjang berjaga-jaga di kanan-kiri jalan raya. Kemudian mobil jenazah dengan sirene meraung-raung menempel erat truk Brimob yang ada di depannya. Saya
Baliem Pilamo bak Ritz Carlton
“Sekolah sedang tutup, jadi saya mengayuh becak saja!” cetus pemuda bernama Elias dengan deru napasnya yang memburu ketika mengantarkan saya dengan becak dari bandara ke hotel. Seumur hidup saya baru pertama kali mendengarkan istilah ‘sekolah tutup’ digunakan sebagai pengganti kata
Wamena, Kristen dan Merdeka
Apabila saya diminta menunjuk dua karakter yang paling membedakan kota-kota di pegunungan Papua dibandingkan kota-kota di tepian pantainya, maka itu radikalisme agama dan semangat kemerdekaan. Sudah menjadi cerita lama bahwa kabupaten-kabupaten seperti Jayawijaya, Lanny Jaya, Tolikara, Yakuhimo, dan Pegunungan Bintang