Di Tepi Timur, Di Sisi Bosnik

Menyusuri Pulau Biak ibarat menyusuri pasase labirin siluman. Jalan-jalan sempit beraspal bercabang-cabang tanpa penunjuk arah, di mana dan ke mana bergantung sepenuhnya kepada teknologi GPS. Tanpa peta digital, penyusuran Biak akan menjadi laiknya orang buta mencari jarum di tumpukan jerami.

Dari Kota Biak menuju ke pantai utara dibelah oleh jalanan beraspal mulus, hanya saja jalanan semakin lama semakin sempit. Semakin ke utara jalanan juga semakin sepi dan pada akhirnya memasuki aspal yang setengahnya sudah tertutup perdu liar. Barangkali tidak ada orang yang lewat ke sini. Sekarang sudah pukul sebelas siang namun saya tidak berpapasan dengan seorang pun semenjak setengah jam lewat.

Habisnya aspal membuat sepeda motor saya terhenti. Sedetik kemudian saya menyadari bahwa saya berada di tengah-tengah hutan lebat dengan tetumbuhan paku-pakuan yang tingginya tiga kali lipat dari apa yang saya temui di Pulau Jawa. Aspal jalan sudah mencapai ujungnya. Tidak ada pilihan lain selain berputar balik lantaran saya tidak punya niatan menerabas hutan dengan sekuter.

Perjalanan penuh kebuntuan adalah keseharian yang biasa di Biak. Kali ini saya beruntung lantaran putaran balik menghantarkan saya dalam satu jam ke sebuah pantai di kawasan Bosnik yang terdapat di sisi timur pulau. Beberapa orang nampak memancing di tepi laut dan inilah untuk pertama kalinya dalam dua jam saya berpapasan dengan manusia lain.

Saya menyepikan diri di bawah pepohonan kelapa beralaskan rerumputan yang lembut. Cahaya matahari urung menembus dedaunan kelapa lantaran masih bercahaya malu-malu dari sebalik awan. Saya melepas lelah duduk di kawasan pantai berada di sebarisan pantai-pantai terbaik di Pulau Biak.

“Dapat ikan, Pak?” tanya seorang perempuan muda yang melintas di hadapan saya sambil terbahak. Saya hanya membalas dengan senyum simpul, nampaknya saya satu-satunya yang tidak memancing di sini.