Berjumpa Bandar Lampung

Merapat ke dataran Bandar Lampung setelah perjalanan semalam di kereta api bagaikan dipukul dengan wajan penggorengan. Kesunyian semalam suntuk seketika juga buyar disambut dengan hiruk pikuk pagi metropolis nan semrawut. Belum selangkah saya keluar dari Stasiun Tanjung Karang, gerombolan tukang ojek dan calo tiket sudah mengerumuni saya, mengharap pelaris di pagi hari.

Inilah Bandar Lampung, kota metropolitan paling selatan dari Sumatera, dengan jumlah penduduk yang berada di kisaran satu juta jiwa. Sebuah angka yang fantastis teruntuk sebuah kota yang lahir dari fusi dua wilayah onder afdeeling, Telukbetung dan Tanjungkarang.

Meskipun usianya lima abad, Bandar Lampung sejatinya adalah kota yang baru. Dahulu kota ini adalah dua residensi yang terpisah. Telukbetung di pesisir timur, sementara Tanjungkarang dihimpit bukit dari sisi barat. Namun seiring dengan perkembangan kedua wilayah, garis batas itu memudar samar-samar.

Saya tidaklah seorang diri di Bandar Lampung. Hellen, seorang kawan baru, menjemput saya pagi itu di tengah hiruk pikuk sentra kota. Entah mengapa kami berdua harus berjanji untuk bertemu di sela-sela keramaian seperti ini. Selamat datang di Bandar Lampung!