Enam jam perjalanan menerabas lintasan berbatu perkebunan sawit membuat corak jok Avanza tercetak jelas di pantat saya. Kami merapat di Taman Nasional Gunung Leuser menjelang maghrib. Beberapa ekor gajah Sumatera yang ditangkar tampak baru saja bergegas naik dari papar sungai, menyudahi hari kerja sang pawang dan memungkas aktivitas di tepi sungai.
Kaki Gunung Leuser inilah halaman terakhir untuk harimau dan gajah Sumatera, hewan-hewan perkasa yang tersingkirkan oleh rambahan jejak industrial. Sore itu kami berada di Tangkahan untuk bersekutu dengan alam, melepas lelah di atas gemericik air sungai.
Kicau burung-burung hutan memenuhi udara. Matahari pun sudah tidak menampakkan diri di angkasa yang perlahan semakin muram. Saya, bersama Simon dan Heri, menikmati santap sore yang kami bawa dari Medan di pondokan hutan ini.
Tangkahan terletak di perbatasan provinsi Aceh dan Sumatera Utara, jauh dari keramaian kota. Sewaktu malam tiba, kesunyian menyelimuti region di kaki Gunung Leuser ini. Dengan sinyal telepon seluler yang sangat terbatas, tak banyak yang bisa kami lakukan di malam hari. Sementara di luar sana deru air sungai semakin menjadi-jadi berbaur dengan kegelapan.
Malam menyelimuti Tangkahan. Kami bertiga berjalan menuju ke sebuah warung yang terletak satu dua kilometer dari desa. Jangankan melihat jalan, melihat kaki sendiri pun sulit. Dengan jarak pandang hanya satu meter dan bermodalkan seter telepon genggam, kami berulang kali nyaris salah berbelok ke tengah hutan. Beruntung mengikuti bunyi gemericik air sungai memudahkan kami untuk menduga-duga jalan.
Malam pertama di Tangkahan kami tidur beralas tikar di tengah udara malam yang hangat. Berulang kali saya terpaksa membolak-balikkan badan karena keringat terus membasahi. Di luar sana hanya terdengar bunyi derasnya arus sungai, diselingi sesekali dengung nyamuk hutan.
Ada apa saja di Tangkahan? Kami akan mengetahuinya esok.