Dari liku-liku sungai kecil itulah garis batas digambarkan. Garis tebal pemisah antara rambahan manusia dan wilayah terlindungi. Antara manusia dengan alamnya, antara alam dengan manusianya.
Saya berjongkok di bibir Sungai Tangkahan, membasuh wajah dengan airnya yang dingin. Aliran sungai yang semenjana adalah anugerah, karena tidak setiap saat Tangkahan punya debit air rendah. Ketika arus terlampau deras, masyarakat menjauhi sungai yang alirannya berasal dari atas pegunungan tersebut.
“Seingat saya ada air terjun kecil di sebalik sana. Kita bisa mandi dan berfoto,” ucap Simon mendahului berjalan di depan, mengisyaratkan kami berlima untuk mengikuti. Kami melangkah hati-hati, berenang menyeberangi sungai yang mengalir sekenanya, dan tiba di sisi seberang.
Air terjunnya tidak besar. Namun memang itulah yang kami cari, secukupnya untuk membasuh diri.
“Ada banyak air terjun di Tangkahan, kecil-kecil tapi banyak,” lanjut Simon. Sudah barang tentu tidak ada air terjun sebesar Sipiso-piso atau Sigura-gura di tempat ini. Adapun air terjun yang agaknya berukuran lumayan di Tangkahan adalah Air Terjun Kenangan. Entah kenangan siapa.
Hingga hampir tengah hari Tangkahan masih memukau dengan air sungainya yang hijau seperti sirup melon encer. Udara yang mulai panas seakan memberi sinyal agar kami segera kembali ke desa untuk membilas diri, atau barangkali sekedar untuk makan siang.
Tangkahan pun kembali pada kesendiriannya, seperti yang sudah-sudah. Kami berenam berjalan melipir tepian sungai yang berkerakal. Menjauh meninggalkan hutan.