Sua dengan Simpang Lima

“Eh, Mas. Tolong donk ini hape saya jamnya dicocokin,” pinta bapak sopir taksi yang mengantar saya dari bandara Ahmad Yani seraya menyerahkan sebuah ponsel retro ke tangan saya. Begitulah ketika bapak ini tahu saya bekerja di bidang teknologi informasi, saya kebagian jadi petugas nyocokin jam!

Pagi ini saya tiba di Semarang. Bahkan boleh dibilang terlampau pagi. Namun Simpang Lima seperti sebiasanya memang selalu ramai. Di sinilah aktivitas komunal dari penduduk Kota Semarang berjalan, di sentra kota yang seakan-akan tidak pernah mati. Meskipun di sekitarnya telah sesak dengan pembangunan pencakar-pencakar langit, lapangan historis ini tidak berubah.

Nama sebenarnya Lapangan Pancasila. Adalah Presiden Soekarno yang merencanakan pembangunan Lapangan Simpang Lima sebagai alun-alun ibukota Jawa Tengah, dimulai dari ujung Jalan Oei Tiong Ham. Alun-alun yang semula berada di kawasan Kauman pun berpindah ke tempat ini dan kota metropolitan pun perlahan-lahan ikut tumbuh di sekitarnya.

Kini Simpang Lima adalah landmark Kota Semarang, setara dengan Bundaran Hotel Indonesia di Jakarta. Dari tinggian Mall Ciputra, saya menyaksikan kendaraan melintas mengitari kuarter ini tanpa putus-putus. Di sinilah kota dengan satu setengah juta penduduk ini bermuara.