“Sengaja aku datang ke kotamu,
Lama kita tidak bertemu,
Ingin diriku mengulang kembali,
Berjalan jalan bagai tahun lalu.”
Ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 22 Rabi’ul Akhir 1680 dalam pasaran Jawa, atau 12 Februari 1755, menandai berakhirnya kesatuan Kesultanan Islam Mataram. Kerajaan dibelah menjadi dua bagian, Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Satu tahun kemudian kraton Kasultanan Ngayogyakarta pun pungkas dibangun dan tanggal 7 Oktober 1756 diperingati sebagai Hari Jadi Kota Yogyakarta.
Menurut kajian Peter Carey, seorang profesor dari Oxford, nama Ngayogyakarta diambil dari Bahasa Sansekerta, Ayodhya, yang menggambarkan sebuah negeri nan subur makmur tempat tinggal Sri Rama dalam epos klasik Ramayana. Sedangkan akhiran “karta” memang lumrah ditambahkan di belakang nama-nama kota di Indonesia untuk menandai “tempat yang makmur”.
Jantung Kota Yogyakarta dibelah oleh sebuah jalan yang menjadi ikon kota, Jalan Malioboro. Malioboro sendiri ditengarai berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu “malyabhara” yang bermakna karangan bunga. Meskipun ada pandangan lain yang lebih populer yaitu bahwa Malioboro sejatinya adalah peleset lidah dari Bahasa Inggris yaitu “marlborough”, perlu diingat bahwa Jalan Malioboro sudah terlahir lima puluh tahun sebelum kehadiran orang-orang Britania Raya ke nusantara.
Peranan Jalan Malioboro terhadap Kraton Ngayogyakarta begitu sentral. Bukan hanya sebagai pembuka akses transportasi, jalan raya besar ini juga merupakan lahan seremonial istana. Secara simbolis Jalan Malioboro digambarkan sebagai pasase yang mengikat hubungan antara Kraton Ngayogyakarta dengan Gunung Merapi.
Status Jalan Malioboro sebagai rajamarga, atau jalan kardinal, membuatnya digunakan sebagai lorong sambutan tamu agung, mulai dari gubernur jenderal hingga presiden. Hampir dapat dipastikan bahwa seluruh tamu agung yang mengunjungi Kraton Ngayogyakarta akan disambut di jalan ini.
Malam itu saya berjalan kaki dari ujung Stasiun Tugu ke perempatan Kraton Ngayogyakarta. Di sepanjang kanan kiri jalan begitu riuh dengan pedagang kaki lima, pejalan kaki, pengrajin batik, hingga turis kambuhan. Tidak salah apabila Jalan Malioboro disebut-sebut sebagai jalan raya paling populer di seluruh nusantara.
Tidaklah benar bahwa Jalan Malioboro mendapatkan namanya lantaran pihak Kraton Ngayogyakarta terkesima dengan gubenur jenderal Inggris, Sir Thomas Stamford Raffles. Demikian tulis Peter Carey di dalam risalahnya. Saya setuju. Jalan Malioboro jauh lebih layak untuk dimaknai sebagai Si Malyabhara, seruas jalan raja dengan semarak untaian bunga-bunga.