“Rambutan berapa sekitar, Pak?” tanya saya dari atas pondok ketika melihat sampan penuh rambutan melintas di sungai yang berada tepat di bawah rumah bambu kecil ini.
“Lima ribu,” kata bapak itu menengadah seraya mengapit sigaret yang masih menyala di antara kedua bibirnya.
Saya menyerahkan uang lima ribu. Bapak tadi berdiri di atas dek sampannya dan menukar seikat rambutan dengan selembar uang lima ribuan yang saya genggam. Rambutan yang merah segar itu kini menjadi milik saya. Sementara bapak tadi kembali mendayung sampan, berlalu menjauh melintasi kolong jembatan.
“Saya membiasakan diri untuk membeli banyak barang dari pedagang kecil ketika berkeliling Indonesia,” tukas saya kepada Kamal yang hari itu menemani saya bersantap soto banjar di dekat jembatan.
“Kenapa?” tanyanya balik.
“Ini soal pemerataan ekonomi,” jawab saya sambil terkekeh mengupas rambutan, “Ketika ekonomi Indonesia tumbuh tujuh persen per tahun, salah satu masalah terbesar adalah efeknya tidak terasa ke masyarakat bawah. Ini adalah salah satu cara saya berkontribusi. Gitu saja sih.”