Perjalanan ini dilakukan sepuluh tahun silam, kondisi Sawarna sekarang sudah jauh berbeda.
Seakan berlomba dengan fajar, kami berdua berangkat ke pantai pagi-pagi buta. Di tengah perjalanan menuju pantai, mentari nampak mulai bersinar di ufuk timur. Untuk bisa menyaksikan matahari terbit, kita melangkahi perkebunan kelapa dan mendaki perbukitan menuju Laguna Pari atau Legon Pari. Kebetulan gara-gara malam sebelumnya hujan mengguyur Sawarna, kami pun direkomendasikan untuk tidak ke sana sebelum terang.
Ada pemandangan menarik sewaktu air laut perlahan-lahan surut di pagi hari. Pesisir pantai yang berpasir mulai menunjukkan karang-karangnya. Ibarat akuarium, di sela-sela pekarangan tersebut air laut yang bening tergenang setinggi lutut dan mempertontonkan beraneka kehidupan laut.
Seadanya. Kami memberikan uang Rp 80.000 kepada Pak Emi sebagai ucapan terima kasih atas kesediaannya memberikan tempat singgah termasuk makan dan minum. Memang jumlah itu tidak seberapa, namun Pak Emi juga memahami bahwa kami berdua itu kere yang cuma pingin liburan murah meriah tanpa mengencangkan ikat pinggang.
Dengan menyebut merk, Pantai Ciantir lebih memikat daripada pantai-pantai Laut Selatan lainnya di pulau Jawa. Boleh dibilang resort-resort seperti Pantai Krakal, Pantai Pangandaran, atau Pantai Jayanti bukan apa-apanya. Barangkali boleh ditandingi Pantai Rancabuaya, namun masih dengan kondisi Sawarna yang jauh lebih perawan. Tanpa kerumunan rumah penduduk di sekitarnya.
Sawarna bagaikan perawan yang belum bersolek. Ada potensi wisata luar biasa yang sebenarnya dapat dikembangkan oleh pemerintah Banten. Namun di sisi lain kami juga berharap agar pantai ini tetap senyap. Semata-mata karena kami khawatir apabila tangan-tangan manusia sudah mulai menjamahnya, kehidupan mahkluk-mahkluk laut tadi barangkali bakal terancam.
Satu jam saya berburu gambar di akuarium alamiah ini. Beberapa mahkluk laut yang cukup besar bersembunyi di bawah relung bebatuan. Sesekali mereka menyembulkan kepala serta berenang kesana kemari. Sementara itu kami berjongkok di tepi karang makan Malkist Abon sambil ditunggui oleh seekor anjing liar. Serius.
Menjelang pukul delapan pagi, kami berjingkat menyusuri pantai ke arah timur. Mulai dari Tanjung Layar, melintasi Karang Taraje, hingga berakhir di Laguna Pari. Penjelajahan Sawarna belum usai.