Namanya bagaikan pernyataan, namun seakan ia sedang memohon untuk dicintai. Pantai Waisai Tercinta nama pantai ini. Terletak di pesisir kota Waisai menghadap langsung ke Selat Dampier. Airnya berkilap bagaikan cermin angkasa. Ketika langit berwarna biru, maka laut pun biru. Ketika langit mendung kelabu, maka laut pun ikut kelabu.
Sore itu langit sedang muram, latarnya gelap dan suram.
Saya berjalan seorang diri menyisir tepian dermaga Waisai, sementara di kejauhan terdengar suara pekik anak-anak kampung bermain sepakbola. Beberapa orang juga nampak asyik memancing di dua hampar kayu lapuk, mengawasi lautan kelabu yang tenang.
Tiga orang perempuan penduduk lokal nampak sedang memunguti kayu di pesisir pantai. Saya melempar senyum namun mereka tidak membalas. Entah mengapa, mungkin sebatas perasaan saya, orang Papua terlihat sering tertawa namun jarang tersenyum.
Banyak orang yang mengunjungi perairan Raja Ampat melewatkan kota cantik ini. Bagi sebagian besar orang, Waisai tidak lebih dari tempat transit, landas pacu, bagi perjalanan pelancongan mereka. Namun teruntuk seorang pejalan yang menyelami budaya seperti saya, kota-kota yang kerap terlewatkan seperti ini justru menyimpan pesonanya.
Matahari terbenam pun seakan tidak nampak, ditelan muramnya langit. Tiba-tiba saja angkasa berubah gelap dan malam pun tiba tanpa banyak saturasi warna. Harap dimaklumi apabila saya pun berbalik arah kembali ke kota, mempercepat langkah memanfaatkan sisa-sisa cahaya yang sebentar lagi akan pungkas.
Mungkin hanya sekitar satu kilometer saya keluar dari kota, namun lumayan untuk membuat kerepotan karena melihat kaki sendiri pun sulit. Berjalan menyusuri pantai di tengah kegelapan malam tentu saja bukan ide bagus. Namun pilihan apa lagi sih yang saya punya sekarang?