Bisik Lirih Danau Linow

Di simpang jalan itulah saya diturunkan. Kabut tebal setinggi hidung menyelimuti Lahendong sementara saya seorang diri berjalan membawa ransel besar. Gerimis nampak belum bosan-bosan membasuh tanah Minahasa semenjak pagi tadi, mengiringi langkah saya masuk ke kerimbunan Danau Linow.

Hans menjabat tangan saya erat. Baru datang dari Rotterdam dua hari yang lalu, kilahnya. Perjalanan dari Rotterdam menuju Amsterdam, dilanjutkan dengan penerbangan jarak jauh menuju Jakarta, kemudian dipungkas oleh penerbangan lanjutan ke Manado. Terbayang betapa melelahkan perjalanan yang dilalui kakek tua ini seorang diri.

Saya tidak ingin menulis soal Hans. Karena di hadapan saya terhampar barang yang lebih pantas untuk ditulis, yaitu danau berwarna hijau toska. Danau Linow namanya.

Aroma belerang sudah menyeruak semenjak saya berjalan menuruni pintu masuk, itu pun sedikit banyak tersamarkan oleh gerimis yang setia menemani. Andai langit cerah, tentunya semerbak sulfur akan lebih ketara. Kuat dugaan bahwa kandungan sulfur yang diam di Danau Linow berhubungan langsung dengan Gunung Lokon, gunung berapi yang memayungi Minahasa, menghasilkan warna hijau toska apik dengan asap tipis sesekali mengepul dari luasan permukaannya.

“Bagaimana itik-itik itu bisa berenang di air yang mendidih?” tanya Hans kepada saya. Segerombolan itik nampak berenang di air berasap. Memang sepintas Danau Linow terlihat laksana hamparan air mendidih, walaupun sebenarnya temperatur Danau Linow hanyalah hangat-hangat semenjana.

Penjelasan saya memuaskan Hans, yang kemudian membenamkan telapak tangannya ke air danau. Benar hangat, katanya. Hans kemudian terkekeh sambil kembali duduk di salah satu bangku yang terletak di ambang danau sambil menyesap kopi panas.

Gratis. Usai membayar tiket masuk yang lumayan mahal, pengunjung Danau Linow mendapatkan banyak fasilitas termasuk kafe yang menyediakan kopi cuma-cuma. Lazimnya para pengunjung yang segelintir itu betah berlama-lama duduk di sempadan danau sembari menikmati kopi, cangkir demi cangkir. Tidak terkecuali Hans dan saya sore itu. Bagi kami berdua, Danau Linow bukan sekedar keindahan, melainkan juga awal dari sebuah pertemanan.