Menerobos Kabut Semeru

Selepas dari pos dua, halimun pekat memayungi Semeru. Jarak pandang yang hanya dua meter terus terang membuat kami jauh lebih berhati-hati mendampingi tim. Saya hanya dapat berdecak ngeri ketika pohon-pohon cemara yang tinggi menjulang tidak nampak pangkal-pangkalnya lantaran terbenam di tumpukan kabut di bawah jurang sana.

“Nuansanya sama seperti Silent Hill,” celetuk Daniel mencoba mencairkan suasana, meskipun dari nada suaranya terdengar bahwa dia juga agak khawatir apabila hujan menghambat perjalanan.

Saya merunduk melewati dahan-dahan pohon yang melintang sangat rendah. Nyaris kepala saya terbentur karena pandangan terhalang oleh halimun. Langkah kami mendadak terhenti ketika Intan berteriak gara-gara sepatunya jebol.

“Kakak bawa sandal gunung tidak?” tanya Intan kepada saya yang langsung saya jawab dengan anggukan. Saya mengeluarkan sandal dari dalam tas dan memakaikannya ke Intan. Dalam situasi hujan, sebenarnya sandal jauh lebih nyaman untuk digunakan daripada sepatu.

Kami kembali melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian kacamata saya pun basah, nampaknya gerimis sudah turun membasuh lereng Semeru.

Pak Sugeng yang membaca situasi ini mengisyaratkan agar kita berhenti di tempat yang agak luas untuk memasang jas hujan. Sesuai dengan instruksi awal, kami semua memang membawa jas hujan masing-masing di dalam ransel.

Saya secara pribadi tidak pernah mempersiapkan jas hujan spesifik untuk pendakian ini. Yang bisa saya sambar dari rumah kemarin pagi hanya sebuah jas hujan sepeda motor yang sudah penuh tambalan di sana sini. Biarlah. Untuk kali ini jas hujan seadanya jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali.