Di atas saya hanya terlihat tebing batu putih tegak lurus tersembunyi di balik kabut yang tidak merata. Watu Rejeng. Inilah tebing nan masyhur lantaran di dalam kondisi cuaca buruk seperti ini batu-batu acapkali berjatuhan dari atas sana menimpa apa saja yang berada di bawahnya tanpa pandang bulu.
Gerimis yang mengguyur beberapa waktu yang lalu kini sudah berubah wujud menjadi hujan lebat setengah badai kecil. Tanah yang tadi padat kini menjadi lembek berlumpur, menyulitkan langkah kami sekaligus menambah kekhawatiran akan terpeleset.
Saya meminta tim untuk berhenti sebentar di bawah teduhan sebuah pondok kayu di tepi jurang. Salah satu permintaan saya agar setiap kelompok tidak terpisah jauh-jauh lantaran medan akan semakin sulit sesudah cuaca buruk melanda gunung tertinggi di tanah Jawa ini.
“Kalau ketemu daerah seperti Watu Rejeng tadi jangan dipaksakan,” ucap saya ke Bayu, “Karena kalau hujan seperti ini longsoran akan sangat mungkin terjadi dari atas.”
Intensitas hujan sudah agak menurun, meskipun masih cukup deras untuk membuat kami menunda perjalanan sesaat. Saya hanya mampu memandangi kedua sepatu yang saya kenakan mulai bersimbah lumpur pekat, warna birunya pudar ditelan oleh tanah kecoklatan.
Tim kembali melangkahkan kaki ketika hujan sudah sedikit reda dan kabut mulai tersibak. Di tengah basuhan hujan yang semenjana, kami melanjutkan perjalanan menuju ke pos tiga. Setelah pos tiga akan ada sebuah tanjakan curam kemudian perjalanan akan menurun menuju pos empat hingga akhirnya Ranu Kumbolo.
“Kita tidak perlu berhenti di pos tiga,” terang saya kepada tim, “Nanti kita lanjutkan saja menaiki tanjakan curam dan baru beristirahat ketika sudah di atas.”