Malam Hari Tiba di Kumbolo

Matahari sudah lima belas menit terbenam, tetapi kami belum sampai juga. Suasana dari hutan sudah berubah menjadi gelap gulita hingga kami terpaksa mengeluarkan senter masing-masing dari dalam ransel. Vegetasi yang semakin merunduk juga membuat kami harus ekstra hati-hati lantaran salah-salah bisa menyundul dahan pohon yang melintang sembarangan.

Beberapa kali Nonik terpeleset tanah berlumpur yang licin. Sementara saya terpaksa berteriak menyuruh tim berhenti lantaran Intan dan Riny tertinggal di belakang. Intinya, tugas saya adalah menjaga seluruh tim tetap utuh di dalam cuaca buruk dan kegelapan malam seperti ini.

Arloji saya menunjukkan pukul setengah tujuh tatkala hutan yang kami susuri habis, digantikan oleh vegetasi rendah macam alang-alang di kanan kiri jalan setapak. Di kejauhan kami melihat cahaya senter berkumpul di satu lokasi. Pos empat!

Sampai pada pos empat artinya kami tinggal selangkah lagi mencapai Ranu Kumbolo. Pos empat merupakan pos terakhir yang terletak tepat di atas Ranu Kumbolo. Danau yang menghampar di bawah sana tidak terlihat gara-gara pekatnya malam yang berselimut kabut.

“Mau turun situ atau muter?” tanya seseorang yang tidak dapat saya lihat wajahnya kepada Pak Sugeng. Pak Sugeng mengisyaratkan bahwa kami akan nekat mengambil jalur turun yang terjal daripada harus berputar.

Entah pilihan yang bijak atau tidak yang jelas kami harus berjibaku. Bergandengan berpasang-pasangan. Saya harus menggandeng Intan menuruni tanah berlumpur yang miring hampir enam puluh derajat. Selangkah demi selangkah, yang penting kami dapat mencapai danau di bawah sana dalam keadaan utuh.

Perlu waktu setengah jam bagi kami untuk menuruni curaman yang tidak kelihatan itu. Sebuah cahaya lampu memantul di luasan permukaan air mengisyaratkan satu hal, kami sudah tiba tepat waktu di Ranu Kumbolo.