Keindahan dan kesunyian biasanya berbaur menjadi satu. Pagi hari Ranu Kumbolo dihiasi lipatan kabut tebal mengarak di hadapan tenda yang menghadap langsung ke hamparan air permai di pertengahan jalur pendakian Semeru ini. Sunyi senyap suasana pagi menambah indahnya danau bernuansa mistis nan beku ini.
Teruntuk komunitas pendaki, Ranu Kumbolo memegang status legenda. Bukan sebatas landmark persinggahan setengah perjalanan menuju puncak, namun juga lantaran pemandangannya yang memikat. Danau seluas lima belas hektar ini juga merupakan emplasemen suci bagi masyarakat Suku Tengger yang mayoritas beragama Hindu.
Saya berjalan menyisir pinggiran danau seorang diri, sesekali udara dingin berhembus menembus celah-celah jaket. Pandangan saya menyapu seputaran danau, terlihat kurang dari setengah lusin orang duduk-duduk di seberang danau padahal subuh baru saja merekah.
“Danau ini sudah lama disucikan,” teringatlah saya kepada ucapan petugas taman nasional sehari sebelum kami memulai pendakian, “Di tepinya terdapat sebongkah batu prasasti yang menandai pendakian sudah dilakukan oleh nenek moyang kita berabad-abad yang lewat.”
Pada pagi buta seperti ini suhu udara di tepian Ranu Kumbolo sanggup menembus batas bawah lima derajat Celsius. Beruntung pada hari ini basuhan hujan membuat suhu pagi tidak terlampau dingin. Memang. Justru puncak dinginnya Ranu Kumbolo biasa terjadi pada musim kemarau.
Kabut pekat perlahan-lahan terangkat dari sepaparan danau. Menyibak luas pandangan ke Ranu Kumbolo, lengkap dengan bukit-bukit berpadang rumput yang mengitarinya. Memang hari ini saya tidak berhasil mendapatkan tontonan matahari terbit, namun setidaknya saya menyaksikan bagaimana Ranu Kumbolo sendiri terbit dari balik kabut tebal.
“Pagi ini juga kita Oro-Oro Ombo di belakang bukit,” kata Pak Sugeng menjelaskan, “Semoga saja pukul sebelas kita sudah beres-beres dan kembali ke Ranu Pani.”