Pagi Hari di Ranu Kumbolo

Terangkatnya kabut pekat dari pelataran Ranu Kumbolo menyibak pemandangan danau permai ini di hadapan saya. Bagi saya tidak ada kata terlampau pagi untuk menikmati bagaimana sebuah tempat mulai berdenyut mengawali hari.

Beberapa dahan pohon jatuh melintang di sisi selatan danau menjadikannya lokasi ideal untuk duduk-duduk menikmati pemandangan. Sementara di seberang barat danau dua puluhan tenda berwarna-warni terlihat menjamuri sempadan Ranu Kumbolo.

Desir-desir angin ringan yang berhembus di hampar permukaan danau membuat air beresonansi menghasilkan lingkar-lingkar gelombang yang membelai-belai tepinya. Pak Sugeng yang sedari tadi berdiri di dekat tenda tiba-tiba meneriaki seorang pendaki yang menceburkan kakinya ke danau untuk mengambil air, “Hei, awas kakinya!”

Pendaki itu pun mundur dan menjauh dari tepi danau.

Memang. Ada satu peraturan untuk tidak mencelupkan anggota badan di Ranu Kumbolo. Bukan hanya karena danau ini disucikan oleh umat Hindu, namun juga lantaran danau ini digunakan sebagai sumber air untuk makan minum seluruh makhluk hidup di sekitarnya. Tidak etis rasanya menceburkan diri ke sana.

“Kalian naik saja ke dahan pohon di sana,” ucap Pak Sugeng setelah menerima kamera dari saya, “Daniel buka saja benderanya. Cocok untuk foto tujuhbelasan sebentar lagi.”

Tidak. Kami tidak menceburkan diri ke Ranu Kumbolo. Bukan atas alasan tadi, melainkan karena celana saya memang hanya tersisa satu. Bagi kami yang sudah berbasah-basah sepanjang sore kemarin, tentu saja keberadaan celana harus dihemat semampu mungkin. Apalagi jika kami masih mau pulang dalam kondisi bercelana.