Menapakkan Kaki di Belitung

Siapa mereka? Jangan tanya saya.

Saya tidak kenal mereka. Sebulan silam saya hanya mengiyakan ajakan di sebuah grup Facebook. Hari ini bersama sepuluh orang yang tidak saya kenal tadi, saya sudah berada di Belitung. Kami menyewa dua buah pondok kecil di sebuah pulau kecil lepas Tanjung Kelayang. Dua pondok yang masing-masing diisi oleh lima orang laki-laki dan lima orang perempuan.

Pendaratan di Bandara Hanandjoedin tadi sebenarnya tidak terlalu mulus. Kami mengalami hard-landing yang mengakibatkan goncangan keras ketika pesawat menyentuh landas pacu. Namun beruntung semua masih berjalan lancar, hingga akhirnya kami tiba di pulau ini, selemparan celana dari Tanjung Kelayang.

Di pulau ini hanya kami bersepuluh, bersama seorang empat pemilik pondok, yaitu seorang ibu dan tiga anaknya. Meskipun terkesan mirip set-up film horor, kenyataannya jauh dari itu. Kami melewatkan senja dan malam hari mengitari perapian, menikmati desir-desir angin ringan yang berhembus di Belitung yang terkesan begitu damai dan tenang.

Bulan purnama tersaput kabut tipis, memantulkan cahaya nan apik di permukaan laut. Kami bersepuluh yang semula tidak saling mengenal satu sama lain pun menjadi akrab. Sebuah perkenalan instan yang lahir dari Facebook tumbuh menjadi sebuah persahabatan di sekeliling perapian.

Namun siapa sangka, malam itu kami lewatkan jauh dari kata tenang. Sekitar pukul dua pagi, badai besar melanda perairan Belitung. Hembus angin kencang menggedor-gedor dinding bambu dan menjungkalkan pintu kayu lapuk sehingga terbuka lebar-lebar. Di tengah kepanikan dan kelelahan, kami mencoba untuk bisa tetap tidur setelah mengganjal pintu dengan meja teras.

Baru satu hari satu malam mencumbui Belitung, salam sambutan yang kami dapatkan sudah sedemikian menggelora. Antara ketenangan dan keganasan yang datang silih berganti. Bagi saya, artinya hanya satu, besok harus lebih seru.