Mobil dipacu menyusuri aspal mulus melipir kota Tanjung Pandan. Tidak berapa lama, sopir membanting setir di sebuah tikungan yang tidak nampak dan mobil pun masuk ke jalanan tanah keras berbatu. Seisi mobil terguncang-guncang ketika kendaraan sesak tersebut membelah rimbunnya tanaman runduk yang tumbuh liar di sepanjang kanan kiri jalan.
“Di dekat sini ada Danau Kaolin,” kata si sopir kepada saya yang duduk di sebelahnya.
“Kaolin?” tanya saya heran, karena setahu saya kaolin adalah batu mineral.
“Betul. Sisa bekas tambang kaolin yang sekarang berubah menjadi danau,” jawab si sopir enteng.
Tidak lama kemudian terpaparlah di hadapan saya rongga-rongga menganga di tanah yang disebutnya sebagai Danau Kaolin tadi. Sisa-sisa penambangan besar-besaran yang menandaskan hutan, membentuk danau-danau bernuansa akuamarin kental. Anda tidak salah baca. Kami sedang melakukan wisata minat khusus, yaitu wisata kerusakan alam.
Dengan kata lain, istilah “danau” itu hanyalah penghalusan dari kubangan bekas tambang. Penambangan mineral selama bertahun-tahun menyisakan ceruk-ceruk berdinding belet putih. Di dalamnya, kubang air hijau toska pekat menggenang tidak bergerak.
Kaolin adalah mineral yang akrab disebut dengan istilah China clay, alias lempung Cina, memang banyak digunakan sebagai bahan dasar pembuat pecah belah, cat, dan kosmetik. Terminologi kaolin sendiri pun diadaptasi dari istilah Bahasa Mandarin yaitu gao lin.
Arfan meminta saya berdiri di sebuah pundung tanah yang diapit danau kembar. Pasase beralas lempung putih terasa hangat seakan-akan memantulkan cahaya matahari. Sementara teman-teman tampak asyik berfoto seolah-olah mereka sedang berwisata di Kawah Putih.
Sepintas danau ini memang mengingatkan saya kepada Kawah Putih dan Talaga Bodas. Namun ini bukan danau alami seperti dua danau di Jawa Barat yang saya sebutkan tadi. Ini adalah sebuah kerusakan alam yang tidak pernah diperbaiki dan kini menjadi atraksi poignan.