Gores luka itu masih ada. Siapa sangka bahwa kota kecil cantik ini pernah bergelora mandi darah. Tentena tidak ubahnya sebuah pedesaan sunyi di paparan Danau Poso, terselip di balik perbukitan cengkeh yang menghijau dalam sebuah kedamaian yang berusia muda. Satu dekade silam, di tanah ini terjadi sengketa yang melibatkan Laskar Mujahiddin dan Laskar Kongkoli yang masing-masing mewakili agama Islam dan Kristen.
Perselisihan yang bermula dari satu keributan kecil tidak terlokalisir, lalu menyeret seantero kabupaten dalam konflik bersenjata berlarut-larut yang menewaskan banyak korban dan memaksa 110.227 jiwa mengungsi dari Sulawesi Tengah. Alhasil kasus adu jotos antar pemuda kemudian menjadi sengketa religi di tingkat nasional.
Saya berjalan di papar Danau Poso, menguntit Pak Yakub yang berjalan cepat tanpa alas kaki. Di sepanjang jalan beliau bercerita banyak perihal konflik religi yang disebutnya sebagai ‘keributan orang-orang paling bodoh di Indonesia’. Gara-gara konflik liar tersebut, semua orang kehilangan pekerjaan, beberapa di antaranya kehilangan tempat tinggal, dan sebagian malah kehilangan nyawa.
“Mereka bodoh sekali,” gerutu Pak Yakub sembari melemparkan jaring dari atas dermaga kayu, “Ketika masalah sudah selesai, mereka masih terlibat konflik. Bahkan mereka sudah tidak tahu memperebutkan apa. Pokoknya bermusuhan saja. Padahal jelas-jelas yang punya masalah sudah selesai. Bodoh sekali kan?”
Memang benar. Sengketa yang lahir dari keributan antar pemuda itu sebenarnya telah pungkas. Alih-alih beres masalah, masing-masing kubu justru memperpanjang masalah yang berakibat pada keributan skala nasional dan mematikan pariwisata satu provinsi selama sepuluh tahun.
Matahari sudah miring rendah di ufuk barat. Bayang-bayang bangunan gereja kayu di kaki bukit tercetak apik di ambang danau. Kota Tentena memang cantik, tidak mengherankan apabila buku panduan sekelas Lonely Planet menyarankan daerah ini sebagai kota perhentian. Namun dengan hanya dengan melihat semua keindahan yang ada di depan mata ini, siapa sangka bahwa Tentena menyimpan luka yang mendalam.
Pak Yakub mengirimkan anak semata wayangnya ke Tolitoli, demi mendapatkan pendidikan di sana sekaligus mengasingkannya dari konflik di tanah ini. Meskipun Tentena kini telah kembali ke dalam perdamaiannya, kota ini tidak pernah lagi sama.
Gores-gores luka tersebut masih terasa membekas di benak penduduknya, termasuk Pak Yakub.