“Sekarang sudah tidak ada masalah,” ucap bapak penjaga penginapan sembari menyulut sigaret, “Dulu kalau saya ke kampung sana, mereka bisa bunuh saya. Kalau mereka ke sini juga tidak berani. Di Tentena kampung Kristen. Di seberang sana kampung Islam. Kami ribut terus sama mereka, entah apa yang dulu diperebutkan pokoknya ribut.”
Tidak terasa sudah sepuluh tahun semenjak tonggak perdamaian ditancapkan di Bumi Poso, perekonomian dan pembangunan pun kembali menggeliat. Konflik berbumbu rasial dan religi pernah pecah di tanah ini sesaat setelah Orde Baru runtuh. Selama bertahun-tahun konflik di Poso menghajar separo aktivitas perekonomian dari Provinsi Sulawesi Tengah, utamanya dari hasil pariwisata kawasan ini, bukan hanya menimpa Kabupaten Poso melainkan menerpa daerah-daerah di sekitar misalnya Kabupaten Morowali.
Sepuluh tahun perdamaian tertancap di kawasan ini. Masyarakat mulai kembali beraktivitas. Influks wisatawan mulai mengalir ke Tentena dan Napu yang dulu pernah menjadi medan laga konflik horizontal yang tidak jelas sementara lalu lintas barang dan jasa dari Tentena ke Toraja maupun ke Poso sudah kembali lancar. Singkat cerita, rasa takut itu telah hilang.
Dalam konteks kerusuhan religi kala itu, Tentena dipandang sebagai fortifikasi terakhir pihak Kristen. Kampung ini tersudut tepat di tepi Danau Poso, terpisah beberapa puluh kilometer dari kantung-kantung penduduk Muslim seperti Ampana dan Parigi.
Panasea itu bernama Deklarasi Malino. Perjanjian damai diikat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meredam konflik yang melibatkan kedua belah pihak. Semenjak Deklarasi Malino digulirkan, konflik perlahan-lahan mereda dan kini boleh dibilang telah lenyap sama sekali. Penduduk Poso baik yang beragama Islam maupun Kristen menjalankan aktivitas mereka secara bersama-sama membangun kembali daerah yang sempat terisolasi selama setengah dekade.
Pagi itu saya bersantai di tepi sebuah dermaga kecil di tepi Danau Poso, merasakan hembus-hembus udara pagi yang dingin membersit kulit wajah. Di seberang sana satu keluarga nampak asyik melakukan piknik, kedua anak kecilnya bermain-main di pantai tepi danau. Sebuah pemandangan yang rasanya tidak mungkin tampil pada masa-masa konflik.
Pada sebagian banyak kasus, konflik horizontal seperti ini memang sulit dipahami. Konflik dapat berlangsung dalam waktu lama dan berlarut-larut hingga pihak-pihak yang terlibat pun sebenarnya sudah lupa apa yang mereka perebutkan. Hari ini saya hanya bisa membayangkan peristiwa berdarah yang pernah terjadi di tanah ini yang sejatinya nyaris tidak berbekas. Sama sekali tidak berbekas.