Melawat Pagi di Hutan Pinus

Sorot cahaya matahari terpapas rimbun pepohonan pinus yang berselang-seling hijau kuning. Desir angin hutan sayup-sayup membelai wajah, meninggalkan rasa gagu di wajah. Kami berempat tidur telentang di kaki batang-batang pinus menjulang, beralaskan tumpukan jerami yang lebih tebal daripada kasur.

Tidak susah untuk menutup mata dan terlelap di tempat ini. Di ambang redupnya hutan dan dinginnya udara pagi, waktu berjalan begitu lambat. Satu-satunya usikan adalah biji cemara yang sesekali jatuh.

Maksud hati menjadikan matahari terbit sebagai penatapan utama, kami justru menetapkan tidur sebagai kegiatan kardinal di Bukit Moko. Pasalnya, tidak hanya suasana damai seperti ini jarang kami dapatkan di Jakarta namun juga karena semalam kami kesulitan untuk tidur.

Wajah saya setengah terbenam di dalam tumpukan jerami, dinaungi udara membeku yang menyelimuti Bukit Moko pagi itu. Yugie, Gugun, dan Nanda nampak juga menikmati kesempatan langka ini. Udara yang segar, alas tidur yang empuk, dan tiada seekor pun nyamuk. Apa lagi yang kami butuhkan?

Sayup-sayup terdengar suara anak-anak kecil, berkerumun di kejauhan. Nampaknya ketenangan ini akan segera berlalu karena Bukit Moko mulai dipadati oleh wisatawan. Yugie bergegas merapikan peralatan fotografinya dan mengajak saya untuk segera berkemas pulang.

Bukit Moko yang sekarang bukanlah Bukit Moko yang dulu. Apabila sepuluh tahun silam ketenangan menjadi jati dirinya, kini lambat laun ia telah menjadi salah satu destinasi glamor Bandung Raya. Sebuah perubahan yang positif, namun entah mengapa saya merindukan kesunyian itu.