Ketika hentak-hentak dua puluh laksa prajurit dan gajah-gajah Majapahit mengguncang Jambi, Datuk Perpatih Nan Sebatang menyadari bahwa Kerajaan Pagaruyuang tengah di bawah ancaman besar. Pagaruyuang sejatinya bukan menjadi sasaran Majapahit yang saat itu menginvasi Jambi, tetapi lantaran kedekatan geografisnya, Majapahit pun memalingkan wajah ke Tanah Minang.
Tidak hanya dua ratus ribu bala tentara Majapahit, namun juga lima ratus kapal perang siap membantu penaklukkan Majapahit terhadap Pulau Andalas di kala itu. Untuk menghindari pertumpahan darah, Patih Suatang mengajak utusan Majapahit berunding. Isi perundingannya kurang lebih adalah bahwa Pagaruyung tidak akan mengusik Majapahit di Sumatra dan pembagian kekuasaan di Tanah Minang dilakukan dengan pertandingan adu kerbau.
Apabila dalam pertandingan adu kerbau Majapahit berhasil mengalahkan kerbau Pagaruyung menang, maka Tanah Minang akan diserahkan kepada Majapahit. Apabila sebaliknya, maka yang bertahan adalah status quo.
Entah bagaimana ceritanya, namun hikayat berkisah bahwa Majapahit menyetujui tawaran itu. Kekaisaran Majapahit mengirimkan seekor kerbau raksasa yang konon besarnya nyaris seukuran gajah. Sementara Kerajaan Pagaruyung mengirimkan seekor kerbau muda yang lincah. Lantaran kerbau muda tadi terlalu lincah dan berusaha “menyusu” ke kerbau besar dan membuatnya kewalahan, kerbau Majapahit tidak berhasil mengalahkan kerbau Pagaruyung, maka Tanah Minang pun tetap berada di tangan Pagaruyung.
Para utusan Majapahit pun beranjak pulang untuk melaporkan kekalahan tersebut namun dicegah oleh Patih Suatang karena mereka akan dijamu makan malam. Dalam jamuan makan malam itulah terjadi keributan dan perkelahian yang menewaskan beberapa utusan Majapahit. Kepulangan para utusan ke Trowulan untuk melaporkan peristiwa tersebut disambut dengan kemarahan Raja Wikramawardhana.
Hanya saja karena Majapahit di kala itu sedang berada di masa-masa penurunan, serangan balasan tidak pernah dilakukan. Hingga akhirnya Kerajaan Pagaruyuang tetap bertahan di Tanah Minang.
Hubungan antara Majapahit dan Pagaruyuang sendiri sebenarnya cukup karib. Kerajaan Pagaruyuang didirikan oleh Raja Adityawarman yang merupakan kemenakan dari salah satu istri Raden Wijaya. Alhasil di sepanjang sejarahnya, Pagaruyuan relatif tidak tersentuh oleh Majapahit lantaran kedua kerajaan mempunyai hubungan darah yang cukup dekat.
Sejarah tidak banyak mencatat ihwal Kerajaan Pagaruyuang. Terlebih ketika Perang Padri meletus, perang saudara tersebut meluluh lantah kekuasaan Kaum Adat di Batusangkar hingga akhirnya catatan-catatan historis tersebut tidak banyak berjejak. Meskipun demikian eksotisme Kerajaan Pagaruyung masih begitu terasa di tanah ini.