Memoar dari Kota Muntok

Tenang terselip di pesisir barat Pulau Bangka. Terbenam diurug deru roda dinamika republik yang berputar kencang. Siapa pernah sangka bahwa Muntok sempat menjadi episentrum perpolitikan dan ekonomi nusantara, atau setidak bukannya Sumatera.

Kota ini Kota Timah. Muntok pernah lahir dan besar oleh timah.

Meskipun pungkasnya deposit membuat Muntok ikut meredup ditinggalkan dan berangsur-angsur kembali menjadi perkampungan nelayan yang teduh, remah-remah kedigdayaan masa lalu kota ini sedikit berbekas. Gedung-gedung kolonial yang megah menghiasi sudut-sudut senyapnya. Seakan-akan menjadi genta pengingat, bahwa dulu Muntok pernah berjaya.

Seberapa banyak yang masih mengingat kota ini? Saya yakin di seluar Pulau Bangka, nama Muntok terdengar alien, yang barangkali kerap tertukar nama dengan Buntok di Kalimantan Tengah. Mengingat rekam sejarahnya yang berbuku-buku rasanya demikian sayang menyaksikan kota historis ini kembali ke dalam senyapnya yang sudah-sudah.

Muntok adalah kota yang menjadi leburan berbagai etnis dan agama, utamanya Melayu dan Tionghoa. Keberadaan Masjid Jami dan Klentheng Kong Fuk Miau yang bersebelahan selama nyaris tiga abad seakan menjadi bukti tegas akan historia tanah ini. Sejarah Muntok diawali oleh sepak terjang Ratu Mahmud Badaruddin, putra Sultan Palembang, yang melarikan diri lantaran sengketa takhta.

Di sinilah sang pangeran menikahi dengan seorang putri Tionghoa bernama Zamnah. Semenjak saat itu Muntok berkembang pesat sebagai kota pelabuhan yang ramai. Ditemukannya deposit minyak di Pulau Bangka pada medio 1800-an membuat Muntok semakin metropolitan di zamannya, bahkan mengkomandoi seluruh Bangka sebelum akhirnya pusat pemerintahan dipindahkan ke Pangkalpinang pada tahun 1913.

Sekarang apa dentuman tersisa dari Muntok? Tidak banyak selain bangunan-bangunan tua yang terawat apik dengan dinding putih berlabur yang melindungi penghuninya dari panas kota yang jahanam. Selain itu jejak-jejak peninggalan Soekarno di tanah ini menjadi semacam kebanggaan tersendiri bagi masyarakatnya.

Siang itu saya memarkirkan sepeda motor di bawah sebuah pohon akasia. Mata saya menatap jauh ke arah Museum Timah yang berdiri senyap tanpa terlihat seorang pengunjung pun di dalamnya. Barangkali suatu saat nanti Muntok bisa kembali bangkit dan berdentum. Namun dalam waktu dekat, tanda-tanda itu terasa begitu samar.