Kisah Tragis Vivian Bullwinkel

Ombak tenang Pantai Radji merendam sepinggang. Perawat dari Australia berjajar rapi sewaktu serdadu Jepang menghujani garis pantai dengan peluru senapan mesin. Peluru pun berhamburan memerahkan pakaian putih korps perawat oleh darah pekat, menewaskan mereka semua.

Semua kecuali satu.

Suster Vivian Bullwinkel bertahan hidup dalam kondisi terluka parah dan bersaksi di Mahkamah Internasional. Kisah kesaksian yang membuat saya terdiam beberapa lama di museum Muntok ini. Enam puluh tahun memang berlalu, namun perang besar telah menyisakan luka di kota kecil ini selama-lamanya.

Sedemikian integralnya kisah pilu Vivian Bullwinkel di dalam narasi Perang Dunia II dan sejarah Kota Muntok hingga Museum Timah Muntok mendedikasikan satu ruangan tersendiri untuk mengenang sang perawat. Hari ini saya seorang diri mengunjungi Museum Timah Muntok yang sepi sunyi salah satunya untuk mempelajari historia sang perawat.

Perjalanan kapal perang Angkatan Laut Australia SS Vyner Brooke harus berakhir di tangan Angkatan Udara Jepang ketika pesawat-pesawat pengebom Jepang menjatuhkan amunisinya di lambung kapal perang naas tersebut. Kapal masif itu karam di perairan nusantara, ditinggalkan oleh para penumpangnya yang melarikan diri melalui sekoci. Beberapa di antara penumpang yang selamat terdampar di pantai Kota Muntok yang saat itu sudah dikuasai Jepang, tepatnya di Pantai Radji.

Pada suatu pagi, tentara Jepang memerintahkan para perawat untuk berjalan berbaris ke pantai. Dua puluh dua orang perawat. Kemudian tentara Jepang menembaki mereka dari belakang dengan senapan mesin. Peristiwa yang disebut oleh media Australia sebagai Pembantaian Pulau Bangka ini hanya menyisakan Vivian Bullwinkel sebagai satu-satunya orang yang selamat.

Perang selalu menyimpan banyak catatan tragis. Vivian Bullwinkel sendiri tidak pernah mengungkap kejadian ini lantaran khawatir akan keselamatan dirinya. Barulah ketika perang usai tiga tahun kemudian, dia bersuara dan dipanggil untuk menjadi saksi di hadapan Mahkamah Internasional ihwal pembantaian brutal yang pernah terjadi di Pulau Bangka.

Satu cerita yang sejatinya mengingatkan kita bahwa Kota Muntok pernah mempunyai peran begitu penting di dalam perjalanan sejarah republik ini. Tidak hanya sebagai lahan petilasan para bapak bangsa dalam masa pembuangan mereka, namun juga sebagai aktor sebuah babak paling penting di dalam peralihan kekuasaan dari bangsa Barat kepada Jepang selama medio Perang Dunia II.

Jejak tersebut kini nyaris tidak berbekas. Di hadapan saya hanya terdapat sebuah kota sunyi dengan kendaraan bermotor yang sesekali melintas. Mungkin masa-masa riuh bagi Kota Muntok memang sudah terlewat.