Desir-desir angin gunung di bawah teduhnya lereng Merapi masuk melalui sela-sela jendela museum. Setengah lusin arca batu menatap beku segelintir pengunjung berjalan menyusuri pasase-pasase koridor sempitnya. Lukisan-lukisan para Raja Mataram yang terpampang di bawah pencahayaan serba minimal menguatkan nuansa suram yang sudah menyambut semenjak kehadiran kami pagi ini.
Museum Ullen Sentalu, demikianlah ia dinamai.
Ullen Sentalu adalah abreviasi serampangan dari ulating blencong sejatine tataraning lumaku, alias pendar lampu blencong merupakan panduan langkah manusia menjalani kehidupan. Pemahaman ini disadur dari falsafah Jawa yang berorientasi pada pagelaran wayang kulit, yang mana sorotan lampu blencong dalam kegelapan malam turut bergerak kesana kemari menaungi perjalanan kisah sang tokoh wayang.
Hampir dua ribu tahun. Kurang lebih selama itulah rentang lorong waktu yang memahat budaya Jawa, yang perlahan-lahan menatah dan mengikis nilai-nilai sosial masyarakatnya menjadi apa yang kita kenal sekarang. Jawa melewati berbagai kurun masa yang naik turun dengan segala intrik politik, gejolak sosial, dan kaum pendatang yang silih berganti memasuki ruang-ruang hidup masyarakatnya. Bertitik tolak pada era Kerajaan Medang yang mendefinisikan konsep kejawaan itu sendiri, berlanjut hingga era Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam, hingga empat sempalan masyhurnya Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran, dan Pakualaman.
Proses empat belas abad menyisakan berbagai artefak budaya yang membantu kita memahami bagaimana budaya Jawa dapat terbentuk hingga seperti sekarang ini. Di sinilah Museum Ullen Sentalu mencoba merangkum secercah secuil dari kompilasi masif kebudayaan Jawa yang nyaris mustahil untuk dihimpun dalam satu museum.
Cahaya lampu redup kekuningan menyala sekenanya di dalam lorong-lorong muram itu. Saya mengikuti sang pemandu menyusuri koridor-koridor berdinding batu dingin, sementara hampir di setiap lukisan kami berhenti sejenak untuk mendengarkan penjelasan historis.
Kami tidak boleh memotret di dalam. Alhasil di sinilah kami baru bisa berfoto-foto dengan bebas, di halaman terluar Museum Ullen Sentalu. Perjalanan mengitari seluruh sudut museum ini memakan waktu hampir dua jam, mengupas mulai dari kehidupan keluarga para bangsawan Kraton Mataram hingga koleksi-koleksi kebudayaan Jawa seperti batik dan kaligrafi.
“Sudah yuk, kita cari makan di bawah,” celetuk Retno kepada saya. Tidak kami sadari bahwa hari sudah siang dan kami belum makan pagi. Suatu saat nanti kami pasti akan kembali ke museum ini untuk membawa teman-teman yang lain menyelami kebudayaan Jawa dalam kemasan instan namun tidak membosankan.