Saya salah pelabuhan. Ketika masuk ke kompleks Pelabuhan Tunon Taka, saya kesulitan mencari kapal menuju ke Sebatik. Hampir semua kapal melayani rute dari Kabupaten Nunukan menuju ke Kota Tawau di negeri jiran. Namun saya belum menyerah, lagipula hari masih cukup pagi untuk mencari jalan keluar.
“Biasanya kapal ke Sebatik berangkat dari Sei Jepun,” ucap petugas pelabuhan, “Tetapi yang saya tahu di Liem Hie Djung ada satu keberangkatan juga, agak siang.”
Rasa-rasanya Pelabuhan Sei Jepun terlampau jauh. Maka jadilah pilihan logis saya jatuh kepada Pelabuhan Liem Hie Djung. Jadilah saya berjalan kaki menyusuri tepian Pulau Nunukan sampai akhirnya tiba di Liem Hie Djung, dermaga lintas batas yang terletak di sisi utara pulau ini.
“Ada satu kapal ke Mantikas,” kata mbak-mbak yang duduk di meja informasi, “Nanti berangkat sekitar jam sebelas atau jam dua belas siang.”
Sebelas atau dua belas adalah hal biasa di Kalimantan. Intinya, jadwal kapal berangkat semaunya. Keberangkatan kapal dapat diungkit dari banyak faktor, mulai dari tingkat okupansi penumpang, keadaan gelombang laut, kondisi cuaca di perairan, hingga sibuk tidaknya si nakhoda. Terkadang kapal tidak berangkat lantaran bapak nakhoda harus menghadiri acara pernikahan tetangganya di kampung. Itu semua hal biasa.
Jadilah kapal motor kayu ini berangkat pukul dua belas lewat lima belas. Setengah dari kursinya terisi penumpang sementara setengahnya lagi dijejali kardus-kardus yang penuh coretan spidol besar-besar. Perairan Sebatik yang kalem membuat perjalanan laut dari Nunukan ke Sebatik ini tidak menemui halangan yang berarti.
Sekurang-kurangnya delapan atau sembilan kali kami harus berhenti di dermaga-dermaga kecil milik perkampungan nelayan di sepanjang pesisir Sebatik, sebelum akhirnya sais menyarankan saya untuk turun di Mantikas, sebuah perkampungan nelayan besar. Saya menurut.
Entah petualangan apa lagi yang menunggu saya di pulau perbatasan ini.