Dibandingkan para kompatriot penyandang status ibukota negara, Bireuen boleh dibilang yang paling tidak dikenal. Baik Jakarta, Yogyakarta, maupun Bukittinggi tentu lebih akrab terdengar telinga masyarakat Indonesia dibandingkan dengan kota kecil Aceh yang terletak di simpang Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Takengon ini.
Satu minggu lamanya Bung Karno memimpin republik dari tanah ini. Dikuasainya Yogyakarta oleh Belanda membuat proklamator harus mengasingkan diri ke tempat lain yang bisa menjadi pusat pemerintahan sementara. Dipilihlah Bireuen sebagai ibukota darurat untuk Indonesia pada tahun 1948.
Pendaratan Soekarno di Lapangan Terbang Sipil Cot Gapu menjadi titik awal dijadikannya Bireuen sebagai ibukota dadakan. Didampingi oleh Alex Kawilarang, sang presiden berjumpa dengan Daud Beureueh. Di lapangan terbang itu pada malam hari diselenggarakan rapat akbar yang dihadiri masyarakat Bireuen. Dengan pidatonya yang bergelora, Soekarno memompa nasionalisme masyarakat Aceh sekaligus menandai babak baru dalam perjuangan negeri ini.
Soekarno tinggal di rumah adat Aceh yang kini menjadi kantor bupati. Selama seminggu penuh beliau memimpin Republik Indonesia sembari menggelorakan semangat perlawanan terhadap Agresi Militer Belanda yang sedang gencar dihantamkan kepada Kota Yogyakarta.
“Yang kurang di Bireuen itu monumen,” ucap Yudi ketika menemani saya berjalan kaki menyusuri trotoar Bireuen yang sempit namun tertata rapi, “Adanya ya cuma tugu itu di tengah sana, ibaratnya itu Tugu Monas bagi kota ini.”
Saya hanya tersenyum simpul. Kota ini begitu hidup dengan aktivitas masyarakatnya. Seakan tidak membekas bahwa baru saja Bireuen menjadi basis pertahanan Gerakan Aceh Merdeka dan digadang-gadang menjadi ibukota Negara Aceh apabila kemerdekaan itu berhasil mereka capai. Sejarah tidak mengizinkan hal itu terjadi. Segalanya tentang konflik itu begitu samar tidak berbekas dan terlupakan, mungkin sama terlupakannya seperti cerita bahwa kota ini pernah menjadi ibukota republik.