Apabila saya berpikir sekembali dari Gayo tidak akan berjumpa kopi untuk sejenak, saya salah besar. Hanya sesaat setelah meninggalkan Takengon dan singgah di Bireuen, saya harus lagi-lagi bertemu dengan kopi. Sama seperti Dataran Tinggi Gayo, warga kawasan dataran rendah ini ternyata begitu menggilai kopi.
“Budaya ngopi sudah mendarah daging,” celetuk Yudi yang menemani saya siang itu, “Bahkan dahulu TNI dan GAM sering ngopi bareng di kedai-kedai kopi. Di luar boleh adu senjata, tetapi kalau sudah ada kedai kopi semua harus damai dulu.”
Barista Bireuen bertindak layaknya bartender yang bermain-main dengan cangkir-cangkir kopi aluminium yang digenggamnya, lempar ke sana kemarin selang seling menjadi hiburan tersendiri siang itu. Kedai ini tidak terlampau besar, hanya terdapat sekitar selusin meja dengan masing-masing empat kursi di setiap sisinya. Namun semuanya penuh hingga menyisakan satu meja di seberang kami.
Dari tabiat ngopinya, bisa kita lihat bahwa masyarakat Bireuen memang gemar berlama-lama duduk di kedai kopi. Menyesap kretek dan kopi bergantian sembari membahas segala permasalahan yang sejujurnya relatif berat, mulai dari hal ihwal otonomi daerah hingga kebijakan Jakarta yang biasanya lebih banyak menerima pandangan kontra.
Tidak salah. Bireuen memang merupakan jantung perjuangan GAM dan digadang-gadang menjadi ibukota Negara Aceh Darussalam apabila mereka berhasil merdeka nantinya. Jangan heran apabila keberadaan TNI di kota ini juga dua kali lipat daripada di tempat-tempat lain di Aceh.
“Saya sudah belikan kamu tiket bus,” seloroh Yudi yang sudah sampai kepada batang rokok ketiganya, “Nanti kamu tinggal datang saja ke terminal, saya antar ke sana untuk cari bus ke selatan.”
“Berapa harganya, biar saya ganti,” saya menawarkan untuk mengganti tiket yang diberikan oleh Yudi. Malam ini memang saya berencana untuk melanjutkan perjalanan lebih jauh menuju ke Lhokseumawe, lebih jauh lagi hingga Pangkalanbrandan di gerbang Sumatera Utara dan tentu saja metropolitan Medan.