Ubud adalah desa yang tumbuh meriah berkat pariwisata. Jati diri Ubud sebagai ikon spiritual Bali kini terpapas oleh hiruk pikuk lalu lintasnya sepanjang siang. Barulah ketika matahari terbenam dan kios-kios pedagang mulai tutup, ketenangan yang dulu pernah ada itu seakan kembali lagi.
Di bawah langit pekat, saya harus meminta belas kasih kepada pendar-pendar lampu jalanan yang menyala sekenanya. Berjalanan menyusuri trotoar Ubud pada malam gelap bak sebuah petualangan tersendiri. Batu-batu trotoarnya banyak yang telah terlepas ditambah lagi lubang-lubang selokan yang menganga begitu saja menunggu ada korban sial yang terperosok ke liangnya.
Malam ini saya menginap di sebuah pondok kecil yang terletak di sudut gang. Pada siang hari suasananya panas bukan main, sementara pada malam hari tidur saya terganggu berisik suara tokek yang bersahut-sahutan. Apa boleh buat, inilah opsi paling murah yang bisa saya dapatkan di desa legendaris ini.
Bicara soal Ubud, saya hampir selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke desa ini setiap kali singgah di Bali. Bukan apa-apa. Saya memang punya beberapa teman perjalanan dan terapis langganan di tempat ini. Itu saja. Selebihnya Ubud sudah bukan lagi petilasan untuk mencari ketenangan seperti dulu lagi.