Pagi saya disambut semerbak frangipani. Tiga kuntum bunga plumeria teronggok di atas sebuah piring kecil yang diletakkan di depan kamar bambu yang semalam suntuk diusik decak-decak tokek. Ubud acapkali menjadi tempat persinggahan saya bermalam tatkala berkunjung ke Bali. Dari masa-masa ketika desa ini belum sedemikian kondang, hingga kini ketika setiap sudutnya diserbu pebisnis dan pelancong.
Baru pukul enam lewat sedikit, namun saya sudah bergegas menuntaskan sarapan. Perjalanan dari Ubud mencapai ambang Gunung Batur harus dilakukan sepagi mungkin demi mendapatkan penatapan pagi yang terbaik. Jadilah berbekal jaket tebal dan sarung tangan, saya menggeber sepeda motor menyusuri jalanan sempit menuju ke Gunung Batur yang seluruhnya telah beraspal mulus.
Sepeda motor saya geber dengan kecepatan moderat di tengah himpit perkebunan kopi di tinggian Kintamani. Hingga akhirnya seorang ibu-ibu bertubuh tambun menyetop sepeda motor saya di tengah sepinya jalan. Kemudian dia tersenyum lebar, dan memasangkan sekuntum rangkaian bunga di plat nomor sepeda motor dan mencipratkan air. Setelah mengucap beberapa bagian doa, ibu tadi menengadahkan telapak tangannya kepada saya dan berkata, “Sepuluh ribu saja.”
Saya hanya melongo sesaat sebelum mengeluarkan dompet untuk memberinya uang sepuluh ribu. Entah sejak kapan ada doa berbayar di pinggir jalan seperti ini. Namun yang jelas saya jadi teringat kata-kata seorang teman bahwa di Bali semuanya bisa diduitin.
Perjalanan dilanjutkan dengan tanjakan demi tanjakan yang berujung pada sebuah desa yang setengahnya tertutup kabut. Dari atas sini saya bisa melihat hamparan Gunung Batur di kejauhan, meskipun nampaknya saya datang terlampau pagi ke tempat ini.
Di paparan pegunungan itu saya duduk di atas jok sepeda motor. Meletakkan helm di pangkuan sembari menatap hamparan luas Gunung Batur di bawah sana. Hembus-hembus udara dingin menggetarkan bibir, namun saya tidak peduli, inilah ketenangan yang saya idam-idamkan di Jakarta.
“Makan pagi dulu, Mas!” seru seorang bapak dari balik warungnya khas orang Bali yang mampu menjual segalanya, “Di sini ada Indomie yang cocok buat udara dingin-dingin seperti ini.”