Di atas bukit kecil berbukit legam ini Kaicil Nuku pernah berdiri seorang diri. Matanya menatap lurus ke arah pulau seberang yang selama ini mewarnai lanskap kerajaannya. Dalam benak Sang Sultan Tidore, pulau di seberang sana tidaklah lebih dari sebuah kompetitor mengesalkan yang menghalangi hegemoni Tidore untuk menguasai arkipelago Maluku. Namun masuknya Belanda ke tempat tersebut mengubah peta diplomasi, dari sekedar kompetisi menjadi sebuah pertempuran seperempat abad.
Hari ini saya berdiri di tempat yang sama, nyaris empat abad setelah Sultan Nuku menyatakan permusuhan terhadap bala tentara Belanda yang menduduki Ternate. Apabila dulu perahu kora-kora berisikan prajurit kesultanan berlepas satu demi satu dari perairan di bawah sana untuk menggempur kekuasaan Belanda, kini yang terlihat adalah perahu bermotor yang lalu lalang.
Saya harus merunduk beberapa kali ketika Awhy mengajak saya mendaki bukit yang berbatu-batu ini, salah memijak maka buliran batu-batu sebesar buah jeruk menggelinding ke bawah. Saya hanya bisa berharap-harap agar tidak ada seorang pun di bawah sana yang tertimpa oleh runtuhan bebatuan yang saya injak tadi.
Dari atas sini perjuangan untuk mendaki memang tidak sia-sia. Jalan raya Tidore terbentang apik di bawah sana menyisir pantai, kota kompatriot Ternate ini memang tidak seramai dan semaju tetangganya, namun saya bisa merasakan denyut perekonomiannya yang berdetak pelan namun pasti. Sementara di atas sana matahari ganas menjerang.