Angkot berhenti di pertigaan jalan, setelah saya menyerahkan uang sepuluh ribu, sopirnya langsung tancap gas tanpa melihat sekitar. Tinggallah Awhy dan saya berdua di tengah jalan raya yang sepi menyantap debu knalpot yang ditinggalkan oleh angkot tadi. Inilah Kota Kepulauan Tidore yang begitu sepi seakan nyaris tidak terasa denyut perekonomiannya.
Di bawah panasnya sengatan matahari siang, saya mengikuti Awhy berjalan kaki menyusuri jalanan yang beraspal. Nyaris tidak ada satu pun kendaraan yang berpapasan dengan kami selain satu becak bermotor yang kelihatannya baru saja mengantarkan penduduk di kampung situ dari pasar. Saya suka kesunyian, namun di Tidore ini kesunyian terasa agak janggal. Seakan-akan semua orang mengurung diri dari bermasyarakat.
“Mungkin karena panas sekali siang ini,” celetuk Awhy, “Jadi jangan heran kalau semua ada di rumah. Pekerjaan di sini kan cuma dua macam, kalau nggak jadi pegawai negeri ya jadi nelayan.”
Entahlah. Awhy mungkin benar, namun sebagai orang Ternate agak lucu juga ketika Awhy mengaku ini baru kedua kalinya berada di Tidore, seakan-akan jarak dua puluh menit dengan kapal motor itu terasa sedemikian jauh. Saya berjalan di belakangnya mengikuti langkah-langkah kecil menyusuri jalanan sempit yang berlekuk-lekuk menerobos sisi perkampungan yang seakan tidak berpenduduk, entah ke mana.