Sepatu saya satu-satunya menganga lebar. Perosok demi perosok di atas bebatuan hitam Tanah Tidore menyudahi pengabdian si alas kaki yang sudah dua tahun menemani saya berkeliling nusantara. Saya duduk di atas sebongkah batu hitam, melepaskan sepatu sisi kiri yang sobek nyaris terbelah dua kemudian melipatnya dan menyimpannya di dalam tas. Sejenak saya mengamati sepatu sebelah kanan yang kondisinya sejatinya masih cukup baik.
Namun apalah arti sebuah sepatu apabila harus ada tanpa pasangannya? Saya pun membungkusnya.
Dengan bertelanjang kaki, saya melangkah setengah berjingkat mendaki bebatuan legam Benteng Torre di salah satu sudut Tidore. Awhy berjalan di depan saya sembari berceloteh ngalor ngidul sementara saya berusaha menahan panas yang menyengat kedua telapak kaki.
Sampailah kami di pelataran yang seharusnya menjadi lokasi Benteng Torre. Namun benteng peninggalan Spanyol ini sedikit banyak sudah tidak berbentuk, teronggok di balik-balik semak belukar yang menyelimuti wajahnya. Sekarang kekhawatiran saya mengganda, tidak hanya soal panas menyengat di kedua telapak kaki namun juga soalan was-was jika menginjak semak berduri.
Benteng Torre adalah kembaran dari Benteng Tahula di seberang sana. Namun situasinya tidaklah cukup terawat, setidaknya pada saat saya berkunjung ke sana. Dinding-dinding batu benteng tua ini berserakan di segala arah, berbaur dengan batu-batu hitam sisa aliran lava dari pucuk-pucuk ceruk kawah Kie Matubu di atas sana. Dari sini saya berdiri terdiam menatap jauh ke arah gunung api yang mengepulkan asap tipis dari puncaknya.