Matahari mengambang rendah di sebalik bukit tatkala kami menerobos celah sempit di leher Teluk Tomori. Perahu kayu yang sedari tadi dihantam gelombang liar dari kanan kiri seakan mendadak bernapas lega lantaran mendapati perairan tenang di lingkung perbukitan hijau.
Baris-baris nyiur melatari beberapa rumah kayu yang terserak di pulau-pulau kecil sekitarnya. Tidak nampak seorang pun di sana, suasana senja nan teduh itu benar-benar terasa begitu membisu dibenamkan deru tersengal-sengal dari suara mesin perahu.
Teluk Tomori adalah sebuah keindahan yang tidak dikenal. Di antara tiga lekukan besar Pulau Sulawesi, namanya terbenam di bawah popularitas dua kompatriotnya, Teluk Bone dan Teluk Tomini. Jangankan mau mengundang wisatawan dari Jakarta, teruntuk penduduk Sulawesi pun nama Teluk Tomori boleh jadi masih alien.
“Teluk Tomori adalah taman laut Morowali,” terang Pak Gatot yang sedari tadi menemani perjalanan kami, “Biasanya orang ke sini untuk langsung ke Cagar Alam Morowali, cuma dilewati saja Teluk Tomori ini, padahal sebenarnya bagus.”
Tidak salah. Teluk Tomori memang begitu menakjubkan. Bahkan teruntuk saya yang sudah menjelajahi setiap sudut Indonesia, pesona dari perairan ini boleh dibilang berada pada level paling atas. Tidak hanya lautannya, namun juga jejak arkeologinya hingga historisnya. Mulai dari pulau-pulaunya hingga air terjunnya.
Dari tinggian Pulau Kelapa, Novi dan saya mengamati Teluk Tomori yang tenang. Permukaan airnya yang permai terlihat bergetar-getar pelan, kontras dengan keadaan perairan di seluar cekungan ini yang tadi terasa demikian brutal.
Teluk Tomori pernah akan tenar. Tepatnya dua puluh tahun silam tatkala jumlah turis asing yang mengunjungi tanah ini merangkak naik perlahan-lahan. Namun konflik Poso mematikan pariwisata seantero Sulawesi Tengah selama lebih dari satu dekade. Pungkasnya konflik Poso membangkitkan kembali semangat lama itu, meskipun hingga saat ini Teluk Tomori masih belum banyak disinggahi. Namun harapan besar itu kembali menyala.