Melalui pesan singkatnya, Galuh mengatakan bahwa di Desa Kapan inilah aspal terakhir. Setelah ini hanya ada aspal satu kilometer lagi hingga tujuh belas kilometer ke atas. Sepeda motor dihentikan di pinggir jalan, tukang ojek memberikan kesempatan kepada saya untuk membeli minuman.
Desa Kapan hanyalah desa kecil yang tidak terlalu maju. Bahkan boleh dibilang relatif minim pembangunan, namun pasarnya begitu runyam lantaran desa ini menjadi pintu gerbang bagi desa-desa lain di sekitar lereng Gunung Mutis. Dari jalan provinsi, satu-satunya cara untuk menggapai desa-desa di atas hanyalah lewat Kapan.
Sayangnya saya tidak punya banyak waktu untuk mengeksplorasi desa ini. Entah apakah ia mempunyai daya tarik atau tidak. Namun yang jelas kunjungan saya selama lima menit di tempat ini membawa saya untuk berbincang ringan dengan nenek penjual sirih. Fatumnasi jalannya hancur, itu saja informasi yang saya peroleh dari beliau.
Saya beranjak kembali ke sepeda motor sembari membawa sebotol air mineral. Sepanjang pengalaman saya di Indonesia Timur, definisi jalan hancur mempunyai tingkatan magnitude yang berada dua level dibandingkan istilah jalan hancur di Pulau Jawa. Artinya, perjuangan baru akan dimulai.