Entah sudah berapa kali saya harus turun agar Pak Nikolaus, tukang ojek yang membawa saya ke Fatumnasi, bisa memaksakan sepeda motornya untuk naik. Aspal mulus sudah habis sekitar lima kilometer yang lalu. Kini yang tersisa hanyalah jalan raya yang dikeraskan seadanya dengan bongkah-bongkah batu.
“Sebenarnya arus lalu lintas yang lewat jalan ini tidak terlampau sepi,” terang Pak Nikolaus ketika saya kembali mendaki jok belakang sepeda motornya untuk melanjutkan perjalanan, “Setiap hari warga di atas pasti ada yang turun lewat sini juga dan sebaliknya. Tetapi entah kenapa sampai sekarang pemerintah tidak membangun jalan di sini.”
Dan beberapa saat kemudian kami sudah dihadang sebuah jalan yang luasnya hanya dua jengkal. Di sisi kanan kirinya terhampar jurang yang kalau salah lewat ya bablas ke bawah.
Ya. Ini bukan jalan. Ini tidak lebih dari bongkah-bongkah batu yang disusun secara swadaya oleh masyarakat. Tantangan terbesarnya tentu saja adalah hujan. Tatkala hujan mengguyur bebatuan ini akan bercampur tanah berlumpur yang membuat roda kendaraan terbenam dan salah-salah terperosok hingga tidak mampu berputar. Belum lagi potensi tanah longsor yang besar.
Terlepas dari semua itu, pemandangan di kaki Gunung Mutis ini begitu memukau. Hamparan hutan cemara terpapar di bawah sana dalam sebuah garis lanskap yang tidak terputus. Entah sampai ke mana. Sementara itu di sela-sela pepohonan yang renggang terdapat hamparan rumput hijau yang tumbuh begitu suburnya di musim hujan seperti ini.
Saya berusaha membagi konsentrasi untuk menikmati pemandangan sekaligus menjaga keseimbangan. Demikian pula Pak Nikolaus nampak begitu bersemangat bercerita perihal Desa Fatumnasi di atas sana.
Saya mengeluarkan ponsel dari saku untuk memeriksa sinyal. Kosong. Di lipatan-lipatan perbukitan ini tentu sinyal ponsel adalah sebuah kemewahan, barangkali di satu sisi saya masih mampu mendapatkan secercah jaringan dan selebihnya nihil.
Pemandangan di sepanjang perjalanan begitu manis. Hamparan padang rumput menghijau melapisi paparan pegunungan bak karpet sementara beberapa ekor kuda liar nampak merumput di kejauhan. Satu-satunya yang tidak saya temui semenjak tadi adalah manusia lain selain Pak Nikolaus yang sibuk mengendarai sepeda motor dengan penuh kehati-hatian. Harapan saya hanya satu, tiba di Fatumnasi sebelum langit mendung menumpahkan isinya.