“Dari mana bapak?” tanya kakek itu melongokkan kepalanya dari jendela rumah.
“Dari Solo, Pak.” jawab saya sembari menyeringai lebar. Saya yakin sekali bahwa orang yang berdiri di hadapan saya ini adalah Mateos Anin, sang jurukunci Gunung Mutis yang saya cari-cari itu.
“Ah, kampungnya Pak Jokowi,” celetuk Pak Anin sembari membuka pintu dan mempersilakan saya masuk. Ruangan di rumah itu tidak besar, mungkin hanya dua kali enam meter. Di dalamnya terdapat beberapa kursi plastik yang disusun di setiap sudut ruangan sementara di tengah-tengahnya terdapat sebuah meja kayu yang penuh dengan ubi rebus.
Mateos Anin adalah seorang pria tua humoris yang cepat akrab dengan siapapun. Saya terpingkal-pingkal mendengarkan cerita beliau ketika diundang ke Kraton Yogyakarta beberapa tahun silam. Di sana beliau bercerita mengunjungi Candi Borobudur dan kemudian panik karena diikuti oleh para pedagang suvenir.
Ada pula kisah ketika beliau diundang ke Jakarta beberapa dekade silam dan harus menginap di hotel mewah. Pak Mateos Anin memang bukan orang biasa di desa ini. Beliau barangkali adalah satu-satunya penduduk Fatumnasi yang mempunyai pengalaman mengunjungi daerah-daerah di sudut-sudut jauh Indonesia.
“Silakan minum dulu,” ujarnya sembari menyodorkan gelas dan sekotak kopi bubuk. Tak lama kemudian seluruh keluarga Pak Anin berdatangan dan berkumpul di ruangan ini seraya menghujani saya dengan beribu-ribu pertanyaan.
Mereka penasaran bagaimana saya dari Solo mampu berkunjung sejauh ini hingga ke pedalaman Timor Tengah Selatan. Saya hanya tersenyum kecil ditanyai seperti itu, bingung menjawabnya, saya jawab saya sedang ada liburan akhir tahun. Obrolan seru dengan Pak Anin dan keluarga membuat suasana cepat cair seakan-akan tidak terkesan bahwa kami baru saja saling mengenal.
Bagi saya ini adalah awal yang bagus untuk lebih dekat dengan masyarakat Fatumnasi.