Oel fani on na’, air adalah darah.
Nasi fani on nafua, pepohonan adalah rambut.
Afu fani on nesa, tanah adalah daging.
Fatu fani on nuif, batu adalah tulang.
Kurang lebih demikianlah filosofi utama dari masyarakat Suku Mollo yang secara gamblang menunjukkan bagaimana mereka sangat menghormati alam dan memperlakukannya ibarat tubuh mereka sendiri. Alam merupakan bagian terintegrasi bagi Suku Mollo, sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari setiap warganya.
Paparan selatan Pulau Timor punya tiga suku kardinal, Amanatun, Amanuban, dan Mollo. Ketiganya menempati wilayah yang kini menjadi basis Kabupaten Timor Tengah Selatan. Suku Mollo adalah suku yang mendiami seputaran lereng Gunung Mutis, oleh masyarakat di dataran rendah mereka acapkali disebut sebagai “orang gunung”.
Secara umum, ketiga suku tersebut dikelompokkan sebagai orang Dawan atau Atoni. Etnis Atoni sendiri merupakan terminologi payung untuk menyebut suku utama di Pulau Timor yang jumlahnya mencapai delapan ratus ribu jiwa. Sebanyak satu dari lima penduduk Nusa Tenggara Timur merupakan etnis Atoni, yang notabene juga merupakan kelompok etnis terbesar di provinsi ini.
Suku Mollo punya kehidupan yang berbeda dengan masyarakat Timor lainnya. Hal ini utamanya dikarenakan Pulau Timor identik dengan lahan yang gersang, udara yang panas membara, padang rumput menguning, dan sungai-sungai nyaris kering yang membelah desa-desanya. Tidak demikian halnya dengan Suku Mollo, mereka tinggal di lereng Gunung Mutis yang kaya raya, menghijau dengan air mengalir sepanjang tahun. Bahkan Suku Mollo lebih banyak melihat kabut dan hujan daripada cahaya matahari.
Hal itu pulalah yang membuat Suku Mollo mepunyai bentuk lopo, rumah adat, yang sedikit berbeda dengan lopo-lopo lainnya di Pulau Timor. Lopo milik orang Mollo mempunyai atap sangat rendah lantaran dibangun untuk melindungi penghuninya dari terpaan angin gunung yang dingin menusuk tulang.
“Tenun kain Timor milik Suku Mollo agak berbeda. Warna dasar pada umumnya adalah kuning terang. Sedangkan kombinasi warna di atasnya adalah merah atau hitam,” terang Pak Mateos Anin menjawab pertanyaan saya ihwal kain Timor miliknya, “Pada era pasca-kemerdekaan banyak pula motif merah putih yang ditenun di atas kain kuning ini.”
Saya bukan penikmat kain, sudah barang tentu saya agak kesulitan membedakan antara kain Suku Mollo dengan suku-suku lainnya di Pulau Timor, namun setidaknya penjelasan dari Pak Anin cukup membantu. Saya melongok ke luar jendela rumah kayu ini. Lagi-lagi hujan. Ah, kan memang hujan adalah pemandangan paling biasa di tanah ini.