Nuaf Nefomasi, atau tenarnya disebut Gunung Mutis, ibarat pecahan surga yang turun di bumi. Padang rumput hijau yang beririsan dengan bongkah-bongkah batu besar hitam kelam menjadi hamparan hidup bagi kuda dan sapi liar yang berkeliaran di paparannya. Tanah tinggian dari Mutis sendiri terpapar hijau apik bak lapangan golf tanpa batas.
Mobil polisi yang saya tumpangi dari Desa Fatumnasi berulang kali berguncang keras ketika kami menyusuri tepian tebing yang beralaskan bebatuan besar. Jalanan sudah habis sedari tadi dan digantikan oleh hamparan tanah merah kecoklatan yang berbaur dengan batu-batu cadas berwarna legam.
Mobil berhenti di tepian sebuah hampar padang rumput. Pak sopir melompat turun dan mengambil tambang dari laci mobil kemudian mulai mengeceknya. Sopir-sopir dari ketiga mobil yang lain melakukan hal yang sama. Dari sini saja saya tahu bahwa perjalanan berikutnya pun mungkin tidak akan mudah.
“Ini sapi dan kuda liar, Pak?” tanya saya kepada adik Pak Mateos Anin yang duduk bersama saya di bak belakang mobil.
“Ada yang liar, ada yang punya orang desa,” cetus bapak tadi dengan singkat.
Saya tidak bisa membedakan. Bagi saya semua kuda dan sapi yang ada di tanah ini terlihat liar dan bebas, tidak terlihat barang-barang yang menunjukkan bahwa mereka adalah kepunyaan warga, dari pelana ataupun genta.
Mobil kembali dipacu. Kali ini kami masuk semakin dalam ke dalam hutan cagar alam ini dan semakin tinggi meninggalkan dataran Timor. Di atas sini kabut tebal mulai turun dan mengambang rendah membenamkan kepala saya di bawah sendat-sendat gugus awan tipis. Mobil agak melambat ketika sopir menyadari bahwa jarak pandang kini semakin terbatas.
Meskipun perjalanan sudah cukup jauh, kali ini suasana agak berbeda. Seluruh penumpang nampak tenang tercekat. Mereka terdiam karena perasaan tegang dan was-was. Termasuk saya.