Lapangan itu diselimuti rerumputan hijau tipis yang masih basah akibat embun semalam. Kanan kirinya dikepung oleh bukit kecil dan batu karang legam yang membentengi setiap sisinya yang dirimbuni oleh selapis pepohonan teduh yang menghalangi cahaya masuk.
Tidak terlihat apapun yang mencolok selain sebongkah batu setinggi paha yang teronggok begitu saja di tengah halaman. Pak Mateos Anin melangkah mendekati bongkah batu tersebut, meletakkan telapak tangan di atasnya, kemudian membaca doa-doa. Bapak Kapolres bersama seluruh petinggi kepolisian Timor Tengah Selatan berkumpul mengitari Pak Mateos Anin dan mengikutinya berdoa.
Sudah jelas bahwa Pak Mateos adalah penganut agama Kristen sementara Pak Kapolres adalah penganut agama Hindu. Namun saya yakin dengan pasti bahwa ritual yang dijalani saat ini bukanlah ritual dari kedua agama, melainkan sebuah seremoni adat yang sama sekali asing. Dari gerakan tangan Pak Mateos dan tatapan mata para anggota kepolisian, saya merasa begitu asing.
Pak Mateos Anin selesai membaca doa. Kemudian tangannya diangkat, beliau menengadahkan kedua tangan ke langit kemudian bergerak berputar setengah lingkaran ke arah tebing-tebing. Konon ini merupakan ritual yang selalu dilakukan oleh Suku Mollo untuk memohon keselamatan dan kemakmuran dari Sang Khalik di gunung ini.
Sejenak setelah Pak Mateos Anin duduk di bongkah batu itu, Pak Kapolres meletakkan sesajen di hadapan batu tadi. Saya tidak bertanya apapun melainkan hanya mengamati dari kejauhan saja. Sesajen tersebut mirip dengan apa yang selama ini saya lihat di Bali, yang meyakinkan saya bahwa ritual agama Hindu diselaraskan dengan ritual Suku Mollo dalam satu bauran yang belum pernah saya lihat sebelumnya.
Angin gunung yang berdesir kencang memaksa saya merapatkan jaket. Ritual berlangsung selama setengah jam sebelum akhirnya ditutup dengan khidmat. Seluruh peserta upacara berjalan tanpa sepatah kata pun kembali ke mobil. Perjalanan pun dilanjutkan.