Lengking panjang peluit memecah lamunan saya. Lokomotif uzur ini mengakhiri perjalanan di Stasiun Tawang lebih siang daripada seharusnya. Di sinilah jantung Kota Semarang. Di sinilah pusat kota yang pernah menjadi bandar terbesar di nusantara pada era kolonialisme.
Di seluar Stasiun Tawang terdapat sebuah kolam raksasa. Dahulu kolam ini adalah lapangan, tempat anak-anak bermain sepakbola atau kejar-kejaran pada sore hari. Banjir rob yang terus menerus melanda Kota Semarang memaksa pemerintah untuk menyulap lapangan tersebut menjadi sebuah kolam waduk yang berfungsi untuk menampung limpahan air yang kadang memang sudah kelewatan.
Sebagai bayarannya, kawasan ini sekarang menjadi banyak nyamuk.
Kota Lama Semarang, demikian orang menyebutnya, merupakan kawasan renta yang menyimpan banyak cerita dari berbagai masa. Kawasan ini dibelah oleh De Groote Postweg, Jalan Raya Pos, yang pernah dikecam oleh penulis kawakan Pramoedya Ananta Toer sebagai sebuah bentuk pembunuhan massal. Belum lagi kisah-kisah yang turun dari masa berpindahnya bandar utama Pulau Jawa dari Jepara ke Semarang pada masa awal VOC.
Apabila berjalan menyusuri kawasan ini, gedung-gedung tuanya seakan membawa kita kembali ke era kejayaan perdagangan Semarang. Gedung-gedungnya megah dengan pintu gerbang dan jendela yang besar-besar.
Pada salah satu sudut Kota Lama terdapat gedung kolonial tua yang pernah dipergunakan oleh perusahaan komersial, Djakarta Lloyd, pada awal masa kemerdekaan. Di dekatnya terdapat pula penerbit dan percetakan Van Dorp yang pernah masyhur lantaran menerbitkan surat kabar Selompret Melaijoe, yang sedikit banyak membantu mendongkrak popularitas Bahasa Melayu di nusantara dan kelak menjembatani keputusan dijadikannya Bahasa Melayu sebagai landasan bahasa persatuan.
“Sengerti saya Door Duisternis Tot Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, karya Kartini diterbitkan oleh percetakan ini,” terang Pak Kusno yang memandu saya berkeliling pagi itu, “Van Dorp merupakan salah satu penerbit dan sekaligus toko buku paling masyhur di Pulau Jawa pada masa tersebut.”
Saya menarik kamera keluar dari ransel. Ini terang saja bukan kunjungan pertama saya ke Semarang, namun kesempatan untuk menyelami lebih dalam sudut-sudut Kota Lama bukanlah sesuatu yang pernah saya lakukan sebelumnya. Jadi marilah kita menjelajah.