“Kan bapak belum pernah ke sini, bapak ikut turun saja sekalian,” ajak Khairi pada sopir taksi yang mengantar kami ke Pondok Pesantren Al-Ihsaniyah di kawasan Gandus.
Sambil nyengir, bapak sopir taksi menolak ajakan kami. Jadilah kami berkunjung berdua saja ke dalam pondok pesantren yang terletak di setepian Sungai Musi ini. Perjalanan menuju ke Pondok Pesantren Al-Ihsaniyah ini memang lebih cepat dari yang dijadwalkan, lantaran kunjungan ke Bukit Siguntang terpaksa dibatalkan akibat situs tersebut masih dalam renovasi.
Menariknya, perjalanan ke Gandus ternyata juga tidak sedekat yang kami bayangkan. Beberapa kali taksi yang kami tumpangi harus memasuki jalan raya sempit yang dibeton membelah lahan basah di tepian Sungai Musi hanya untuk mencapai area yang terletak nyaris di luar Kota Palembang ini.
Panggilan apa yang membuat kami singgah di Pesantren Al-Ihsaniyah?
Tidak lain kunjungan kami adalah untuk menyaksikan Al-Qur’an Al-Akbar, representasi 30 juz ayat suci yang ditatah pada kayu bilah-bilah kayu tembesu berukuran 1,77 x 1,40 meter. Pembangunan museum nan masif ini menghabiskan anggaran lebih dari dua milyar Rupiah dan 40 meter kubik kayu. Andaikata diletakkan menjadi satu tumpukan, tebal ayat-ayat kitab suci ini mencapai sembilan meter!
Khairi dan saya melepaskan sepatu di ambang pintu ruang etalase. Ruang utama yang berukuran sebesar aula ini mempunyai papan-papan kayu besar yang dipasang laiknya jendela angin yang berpahat ayat-ayat Al-Qur’an. Sekurang-kurangnya terdapat lima lantai ruangan berdinding kayu yang menjulang tinggi, yang menurut tutur mereka, dibutuhkan waktu tujuh tahun untuk memahatnya.
Di seluaran jendela-jendela masif itu terdapat sebuah panggung. Sekumpulan anak-anak sekolah sedang asyik duduk di bawahnya sambil selfie, saya pun menawarkan kepada Khairi untuk memotretnya. Meskipun secara pribadi saya tidak memahami Bahasa Arab, namun saya sangat terkesan dengan keanggunan pahatan ayat-ayat berukuran agung ini.
Perlu waktu sekitar setengah jam bagi kami untuk menyusuri beberapa sudut ruangan di pondok pesantren ini. Sayangnya pada hari itu akses menuju ke lantai atas sedang ditutup sehingga kami hanya sanggup menjelajah lantai dasar saja. Tidak berapa lama kami pun kembali ke Kota Palembang. Taksi diputar balik melintasi jalanan rusak yang sama.