“Hati-hati ya kalau di sini, jangan terlalu mencolok,” ucap sopir taksi online yang menurunkan Khairi dan saya di depan pelataran Benteng Kuto Besak. Bagi saya yang sudah pernah ke Palembang sebelumnya, saya bisa paham bahwa area ini memang tenar dengan premanisme akut.
Teruntuk Khairi yang baru pertama ke Palembang, jelas ini sinyal aneh. Apalagi mengingat kawasan di bawah Jembatan Ampera terletak berdekatan dengan Benteng Kuto Besak yang notabene merupakan sentra militer Kota Palembang. Bagaimana mungkin kawanan preman jalanan itu bisa dengan leluasa berkeliaran di seputar Jembatan Ampera sementara di sana ada banyak aparat? Entahlah. Saya terlalu malas untuk memikirkan hal itu.
Jadilah malam itu kami berjalan menyusuri Benteng Kuto Besak, sebuah benteng dari abad ke-18 yang menjadi sentra pertahanan Kesultanan Palembang. Kini fortifikasi tersebut telah berpindah tangan ke Tentara Nasional Indonesia dan dimanfaatkan sebagai markas Komando Daerah Militer (Kodam) Sriwijaya yang membawahi lima provinsi di Sumatera.
Pendar cahaya apik dari Jembatan Ampera yang memantul pada Sungai Musi membuat perjalanan malam itu begitu menarik. Beberapa anak muda nampak mengambil gambar di tepian sungai tanpa terlihat rasa khawatir sedikit pun. Namun apa boleh buat, sebagai pendatang bukankah sudah sewajarnya apabila kami waspada?