Ulu dan Ilir Sungai Musi

Dari sini Jembatan Ampera terlihat begitu ikonik. Dua menara pancangnya megah mendukung jembatan yang menghubungkan kawasan ulu dan ilir, dua dunia dari Kota Palembang. Ada anggapan bahwa kawasan ilir adalah yang lebih dahulu maju, dengan pusat bisnis dan historis yang terserak di setiap sudutnya. Sementara kawasan ulu adalah seperempat kota yang tertinggal, perkampungan dengan tingkat kemiskinan dan kriminalitas tinggi.

Namun itu dulu. Setidaknya sekarang kesenjangan itu tidak selebar dahulu.

Saat ini saya sedang berdiri menatap Jembatan Ampera dari waterfront Kampung 10 Ulu, kawasan yang dahulu pernah dikenal sebagai habitat nongkrong para preman Palembang. Kini kawasan ulu sudah banyak dibangun, sebut saja gedung-gedung pemerintahan, sentra olahraga Jakabaring Sports Center, hingga kampung-kampung wisata dan akses pintu tol. Perlahan-lahan wajah kawasan ulu ikut berubah.

Teringat saya ke memori sewindu silam, ketika saya pertama kali mendarat di Kota Palembang. Seorang ibu-ibu muda di oplet yang saya tumpangi berulang kali mewanti-wanti saya penuh khawatir, “Hati-hati yah, nak. Hati-hati. Jangan sendirian di sana.”

Memutar ulang memori tersebut terang saja seakan-akan memantik rasa ultra waspada ketika saya menyusuri perkampungan ini. Tetapi rasa-rasanya keadaan sudah jauh berubah. Setengah hari saya berada di kawasan ini, sedikit banyak saya sudah merasa terbiasa dengan kesibukan masyarakat dan tutur kata mereka. Kekhawatiran itu sama sekali tidak terbukti.

Dari masa Kerajaan Sriwijaya hingga saat ini, kawasan ilir memang sudah menjadi konsentrasi pemerintahan dan kehidupan masyarakat. Baru beberapa tahun belakangan ini, pasca-reformasi, kehidupan pada seberang ulu mulai diperhatikan. Perlahan-lahan hasilnya pun sudah mulai terlihat.

Selain dibelah menjadi dua bagian oleh Sungai Musi, bagian ulu Kota Palembang mempunyai dua anak sungai besar, yaitu Sungai Ogan dan Sungai Komering yang menjadi urat nadi transportasi air. Sementara pada bagian ilir dahulu terdapat sungai-sungai kecil yang berperan sebagai kanal-kanal yang mengalirkan airnya ke Sungai Musi. Namun seiring dengan perkembangan zaman, peranan sungai-sungai kecil tersebut digantikan oleh jalan-jalan raya, beberapa di antaranya bahkan telah hilang tertimbun.

Bukan hal aneh apabila pada masa lampau Kota Palembang pernah menyandang predikat sebagai Venice of The East, merujuk kepada kota kanal di Italia. Dari kunjungan saya ke Venezia dua tahun silam, perbandingan antara Palembang dan Venezia barangkali terlampau jauh.

Namun satu kemiripan yang jelas paling kentara adalah bagaimana aktivitas komunal masyarakat kedua kota bertumpu pada sungai-sungai kecil yang menjalar ke seantero kota bagaikan urat nadi.